Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 November 2012

ADVOKAT


ADVOKAT
Sebuah film yang dirilis era 80-an, berkisah tentang seorang wanita separo baya (Sopiah WD) pengasuh anak-anak yatim di sebuah rumah panti di Jakarta. Dari kejauhan, hamparan lahan yang sudah diratakan, terlihat rumah tua itu berdiri kokoh, sekokoh si pemiliknya mempertahankan bangunan tersebut dari penggusuran. Maklum, penggusuran memang sudah marak, terutama di Jakarta masa itu.
Suatu sore yang kelabu, Si Ibu (Sopiah WD) didatangi seorang pria muda berdasi (Rano Karno). Diketahui, Si Pria ternyata Pengacara sebuah perusahaan kontraktor, ia ditugasi mengurusi segala sesuatu dokumen yang berhubungan dengan pengosongan lahan. Kebetulan sekali, rumah panti asuhan tersebut termasuk dalam lokasi yang mesti dikosongkan.
Si Ibu mempersilakan tamunya masuk. Sembari memperkenalkan diri sewajarnya, Si Pria membuka map serta  menempelkan telunjuknya pada lembaran-lembaran yang harus ditandatangi Si Ibu. Maka terjadilah dialog.
“Ibu silakan tandatangan di sini, di sini, dan di sini” demikian perintah Si Pria.
Si Ibu bergeming, ia justru bertanya.
“Sudah berapa lama anak jadi pengacara?”.
“Dua tahun Ibu, kenapa?”, Si Pria menjawab sekaligus bertanya dengan sedikit heran.
“Anak yang baru jadi pengacara dua tahun, berani mengusir saya yang sudah mengasuh anak-anak yatim di rumah ini selama 40 tahun?” Kata Si Ibu dengan lantang.
Mendengar ucapan demikian, Si Anak muda sedikit tertunduk. Namun tetap memberi argumentasi.
“Ini demi kepentingan hukum Bu. Seperti yang Ibu ketahui, sudah ada keputusan pengadilan yang mengharuskan Ibu mengosongkan rumah ini.
“Hai, tahukah kau Anak Muda, bahwa hukum dan keadilan bukan didapat dari buku-buku yang kau pelajari selama bertahun-tahun. Tetapi di sini......!” Ia menampar dadanya sendiri dengan pelan. Tetapi bagi Si Pria, tamparan itu terasa amat keras ditujukan ke dadanya sendiri.
Si Pria menutup mapnya, lalu berjalan meninggalkan tempat itu, sembari mencopot dasi yang terasa mencekik lehernya. Oh Tidak. Si Pria tidak sekadar meninggalkan rumah itu dan mencopot dasinya, tetapi sekaligus meninggalkan profesi advokat dengan segala atributasinya. Ia kemudian berjuang  menegakkan keadilan dengan
caranya sendiri. Sesuai hati nuraninya.

Film ini saya tonton sudah sangat lama. Lebih dari 20 tahun silam. Tetapi, memasuki dunia advokat yang menantang, saya kembali teringat akan kisahnya. Sebagai advokat junior tentunya belum relevan bagi saya melontarkan statmen tentang profesi yang mulia ini, apalagi mengambil kesimpulan. Namun demikian, setidaknya saya sudah membantu beberapa orang dalam advis hukum. Orang-orang dengan berbagai karakter dan masalahnya. Secara umum tentunya mereka berhadapan dengan hukum, kehilangan hak, merasa tidak diperlakukan secara adil. Sebalikknya, Ada juga yang berupaya memperjuangkan haknya tetapi terlebih dulu telah mengabaikan hak orang lain. Hukum terkadang dijadikan alat untuk melegitiasi perbuatan tertentu. 
Lebih dari itu, sesungguhnya seorang klien, selain bermaslah secara hukum juga memiliki problem secara fisikogis. Maka, seorang advokat/konsulatasi hukum, selain piawai dalam menyelesaikan masalah hukum,juga dituntut punya kepekaan terhadap kondisi klien, kehidupan yang melatar belakangi perbuatannya, dll, sehingga mampu memberi rasa nyaman yang akhirnya melahirkan kepercayaan. Dan syukur-syukur dapat menyadari, bahwa konsultan terbaik bagi dirinya adalah dirinya sendiri

Aku ingat, di awal karir tahun 2010, saya didatangi seorang wanita muda, berusia menjelang 30 tahun. Sebut saja namanya R. Menurut keterangan R, ia dan seorang anak perempuannya ditinggal sang Suami berinisial B, empat tahun silam secara tidak bertanggungjawab. Belakangan diketahui, B menikah lagi dengan seorang wanita pilihan orang tuanya dan tinggal di kota yang sama dengan R. Berdasarkan penelusuran R, B bersama istri barunya kini, menjalankan usaha dagang emas di salah satu toko sebuah pasar ternama di kota ini.
Singkat cerita, sebagai penasehat hukum, sebelum melakukan langkah-langkah hukum, saya mencoba menempuh jalan kekeluargaan dengan menemui B di tokonya. B yang saya temui menceritakan kisah rumah tangganya bersama R dengan mata berkaca-kaca. “Agar Ibu tahu, waktu itu saya diusir R dengan kata-kata yang kasar, karena usaha yang saya jalani mengalami kebangkrutan. Saya pergi dengan sepasang pakaian di badan. Padahal kalau dirunut, kebangkrutan yang saya alami disebabkan oleh kebiasaan R yang pemboros”, demikian ungkapnya. Saya bergeming, dan berusaha profesional.
Tuntutan klien saya jelas. Biaya hidup R dan anak mereka selama ditinggal serta biaya anak kedepan, mengingat akan memasuki sekolah tahun ajaran ini. Dan status perkawinan mereka. R menuntut cerai. Itu saja.

Hari demi hari berlalu, dalam pengurusan perkara ini. Suatu hari, larut malam. Saya dikejutkankan oleh nada sms/pesan pendek masuk di handphone saya. Ternyata dari R. Agaknya pesan itu salah kirim. Isinya sangat tidak pantas dibaca wanita terhormat manapun. Di kegelapan malam saya termenung dan bertanya. Wanita seperti apa yang saya bela ini? Mungkin sadar smsnya salah kirim. R tak pernah menghubungi saya lagi. Sejak itu hubungan kerja dan pertemanan yang singkat di antara kamipun berakhir.

R, seperti klien-klien yang lain, selain bermasalah secara hukum juga memiliki problem secara fsikogis. Maka, seorang advokat/konsultan hukum, selain piawai dalam menyelesaikan masalah hukum, juga dituntut punya kepekaan terhadap kondisi klien. Memberikan bantuan hukum sembari menyadarkan klien dari sikap-sikapnya yang mungkin meletarbelakangi setiap perkara, adalah tantangan lain bagi seorang advokat. 
Wanita, klien saya yang lain tak kalah “hebat”. Terindikasi melakukan penipuan hingga ratusan juta rupiah.  Ia diciduk polisi dan ditahan. Hebatnya lagi,
ia malah berhasil membobol jeruji besi dan melarikan diri. Walau dalam pelariannya, ia kembali tertangkap.
Dari uraian contoh kisah di atas. Sebagai awam hukum. Saya harus banyak belajar. Terutama belajar tentang arti pembelaan atas nama kepentingan hukum. Dalam sebuah pembelaan biasanya mengandung beberapa dimensi, yang masing-masing tak ada yang lebih penting, melainkan semuanya penting. Ada kepentingan hukum, kepentingan klien, di antara itu terselip kepentingan hati nurani yang tak dapat dibohongi. Ada banyak kelompok tertindas tetapi tidak memiliki fakta hukum yang dapat diterima. Ada banyak fakta hukum tetapi tidak mencirikan keadilan yang hakiki. Maka, untuk menjaga keseimbangan itu, rasanya cukup adil bila Kode Etik Advokat membenarkan seorang advokat dapat menolak suatu perkara bila perkara itu bertentangan dengan hati nuraninya.  
Hukum sebagai suatu produk hanya mampu menjangkau kebenaran materil. Sedang kebenaran hakiki sesungguhnya bersemayam dalam dada setiap insan. Seperti yang diungkapkan Sang Ibu pada diolog film di atas.


Read more...

Jumat, 27 Januari 2012

Asmanidar, SH: Kedua Pemerkosa Layak Dihukum Berat

Asmanidar,S.H., memberi keterangan pers di Pengadilan Negeri Bangkinang

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) “KERAKYATAN” Asmanidar, S.H., meminta Jaksa Penuntut Umum ( JPU) berkenan menuntut maksimal Fahriadi dan Kasmono terdakwa pemerkosa gadis cilik berinisial  Ma (11) di kawasan sebuah perumahan Desa Rimbo Panjang, Tambang, Kampar  awal Oktober tahun silam.

 “Ma,  diperkosa bergilir empat pria. Namun, hingga kini, baru dua pelaku yang berhasil ditangkap polisi,”ujar Asmanidar selaku kuasa hukum korban  kepada pers di Pengadilan Negeri Bangkinang usai persidangan pemeriksaan para saksi/saksi korban  Kamis (26/1) silam. Kamis (2/2) mendatang persidangan kasus asusila ini direncanakan memasuki tahap penuntutan. “Sebagai kuasa hukum korban,  saya berharap sangat, JPU bersedia menuntut kedua terdakwa secara maksimal,” kata Asmanidar. 

Menurut Asmanidar, Fahriadi dan Kasmono didakwa dengan pasal 18 ayat 1 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Berdasarkan rekonstruksi fakta-fakta persidangan seperti dibeberkan saksi (korban), Asmanidar berharap kedua terdakwa layak dihukum berat. “Tentu saja, diawali dengan tuntutan JPU secara maksimal,” tuturnya.
Dalam prosesi persidangan Kamis (26/1) kemarin, kedua terdakwa kata Asmanidar memang masih berusaha berkelit dari tindakan biadab mereka. Namun, lanjutnya semua siasat yang dirancang kedua  terdakwa tampaknya gugur, setelah persidangan mendengar keterangan Ma, selaku saksi korban. “Biasalah! Mana ada penjahat yang mau mengakui perbuatannya,” tegas Asmanidar.

Kedua orangtua korban serta dua  abangnya yang hadir dalam persidangan tertutup itu, memang nyaris lepas  kendali hingga hampir memukul kedua terdakwa saat keluar dari ruang sidang. Untung petugas Kejaksaan segera mengantisipasi. “Siapa yang tak emosi? Sudahlah berbuat biadab, terdakwa masih tega-teganya berbohong di persidangan,” ujar RK (18) saudara korban. 

Informasi yang dihimpun di TKP menyebut, persitiwa ini sempat menggemparkan. Kedua terdakwa yang langsung ditangkap massa  memang sempat dihajar  hingga babak belur menyusul pengakuan korban kepada ibunya. “Saya salah seorang warga yang turut mengamankan terdakwa saat itu,” ujar Af (35). Polisi, kemudian tiba di TKP setelah dua pelaku lainnya melarikan diri. 

Kronologisnya, Jumat (2 Oktober 2011)  menjelang senja, sekitar pukul 15.00 WIB. Awan hitam tengah menggelayut di langit Desa Rimbo Panjang, saat Ma beranjak dari rumah menuju warung di kawasan perumahan yang rada-rada sepi itu. Ma diikuti dua  adeknya, masing-masing usia 4 tahun dan 3 tahun. Lantas, ikut pula gadis cilik usia 3 tahun anak tamu mereka (saat itu, masih suasana lebaran,  hari ketiga Idul Fitri).

Ketiga bocah yang mengikuti Ma, terus berlari-lari sembari bermain, saat Ma tiba di warung. Gerimis kemudian turun ketiga bocah kembali ke rumah. Ma yang juga menuju pulang tiba-tiba mendengar panggilan seorang pria dari salah satu rumah, yang selama ini dihuni pekerja perumahan itu. Mendengar namanya dipanggil Ma berbelok menuju suara. “Yang memanggil itu, Fahriadi,”ujar Ibu korban.

Tiba di depan rumah, salah seorang pria itu bertanya  ayah Ma lagi diamana. Saat Ma menyebut ayahnya sedang bepergian, salah seorang pria itu langsung menarik tangannya dan menggendong Ma ke dalam rumah. Di dalam rumah tiga pria sudah menunggu. Tiba-tiba hujan semakin deras. Kondisi alam ini, tampaknya membantu niat bejat keempat pria ini. “Tak terbayangkan, empat pria perkasa menggerayangi kehormatan gadis cilik ini,” ujar Beni, S.H., pengacara Komisi Perlindungan Anak, Kampar. Di persidangan kronologis ini dijelaskan korban dengan lugas. 

“Tidak manusiawi jika saya menjelaskan detail peristiwanya. Tetapi korban diperkosa secara sadis dan bergilir. Bayangkan, saat yang satu memerkosa yang satu lagi merekamnya dengan hand phone,” ujar Asmanidar. Diperkirakan nyaris seratus menit, korban menjadi pelampiasan nafsu syetan mereka dibawah paksaan dan ancaman senjata tajam.

Ibu korban yang masih asyik dengan tetamunya, mulai bertanya-tanya anak gadisnya tak kunjung pulang dari warung, walau hujan sudah muali reda. RK kemudian ditugasi mencari adeknya, tetapi setelah tiga kali bolak-balik dari warung- rumah, Ma tak kunjung kelihatan. “Tetapi, saya selalu jadi perhatian dua pria di rumah tukang rumah itu. Setelah yang ketiga kalinya saya ke warung ketemulah saya Ma di perempatan jalan  perumahan itu yang berjarak sekitar 20 meter dari rumah tukang (TKP-red),” ujar RK. 

Saat itu,  Rk hanya bertanya adeknya dari mana saja. Tapi Ma tetap mengatakan dari warung. Di rumah, tetamu masih ramai. Ibu  Ma hanya marah kecil dengan putrinya, karena lama pulang dari warung. Tetapi, kecurigaan tetap saja menyelipi hati ibu. Saat tamu pulang, Ma malah menangis. Setelah ditanyaidan dibujuk ibunya, Ma kemudian mengakui semua peristiwa yang dialaminya, meski keempat pria itu mengancam:  membunuh semua keluarga mereka, jika korban membocorkan peristiwa ini. Ibu korban, yang baru melahirkan anak ke-enamnya,  langsung pingsan, warga heboh. “Aku mau dibunuh mereka,”ujar Ma.

Ayah korban tiba di rumah saat warga sudah menjejal rumah mereka. Mendengar peristiwa itu, ayah korban sempat bingung: istri pingsan anak diperkosa. Warga segera bertindak dan mengamankan pelaku. Sayangnya, hanya dua yang tertangkap yang dua lagi sudah keburu melarikan diri. Ibu korban segera dilarikan ke rumah sakit. Ketua pemuda setempat menempuh kebijakan untuk biaya perobatan dengan menyerahkan sepeda motor pelaku kepada ayah korban. “Sepeda motor itu saya gadaikan untuk biaya berobat istri saya,” kata Rs (ayah korban).

Nah, di persidangan kedua terdakwa tampaknya masih tetap berupaya mengelabui majelis hakim dan berkelit dari tindakan mereka. Padahal, korban sendiri, saat melihat wajah kedua terdakwa di persidangan sudah nyaris pingsan karena traumatis. “Majelis terpaksa meminta terdakwa keluar ruang sidang saat korban memberi ketererangan” ujar Asmanidar.

Dian, S.H., sebagai JPU kepada pers berjanji tetap menuntut kedua terdakwa secara maksimal. “Saya tidak main-main dalam kasus seperti ini,” ujarnya. Ketua majelis hakim, Yuliana, S.H., juga berjanji mengganjar kedua terdakwa dengan hukuman berat. “Kita tunggu saja,” tandasnya. (Wep)

Read more...

Kamis, 19 Januari 2012

TESTING CONCERN

Piece of dialogue in the scene jokes on television about a beggar and a woman. Parlente woman, standing by the roadside. Waiting for a taxi. Suddenly a beggar approached him, while extend hand: "Alms Ma'am, I have not eaten!" He said, plaintively. "Equally, I also have not eaten," replied the woman, light, without glancing at the beggar.The scene was intended to invite laughter jokes. I was laughing. At first glance, the response of the woman, very precise, but the ridiculous: both had not eaten. Two sentences similar but have different meanings. Beggars have not eaten, probably because they do not have the money to buy food. Aka no one wants to eat. While the woman had not eaten, because it may not have time to eat. Still satisfied, or are dieting.Events such as these, are often encountered in real life. Because the real work of literature, film, drama, music, etc.., Removed from society phenomenon. Often, someone told me about problems facing life, just the other person instead of expressing sympathy, what else to offer assistance. In fact the opposite. Complaining about problems that happen to him anyway. The same issue but have vastly different characteristics. Perhaps, this is one form of human selfishness. Or might also attempt to avoid the member for help, even if just an expression of sympathy.Most of us, including me, maybe you, too, often think: "Can not help others because we also need to be helped". Logically, perhaps rightly so. How to help others, while our own hard? The absence has always been a reason to eliminate the obligation to help others. Yet, in truth everyone must have a sense of caring that is born of faith in God, who sees every activity servants.A story at the time of the Prophet recalled: Abu Hasan Ali ibn Abi Talib or the law of Allah, the Prophet is known as a generous friend. Abu Hasan had given all the money he had, some six dirhams to a beggar. The money had been due, to buy food for his two sons: Hasan and Husin. As a result, Abu Hasan came home with empty hands. He explained to his wife Fatimah Az-Zahra that money to buy food has he "lend to God", (people who give money to beggars equal to lend to Allah-al-Hadith).Furthermore, on the same day visited by an Arab Abu Hasan Badawi intends to sell a camel to Abu Hasan for one hundred dirhams. Prices are very cheap at the time. And great uncle of the Messenger of the child should pay for it, if you already have money. After a time, come again another an Arab Badawi, offered camels Abu Hasan for three hundred dirhams. God has given sustenance to Abu Hasan sum of two hundred dirhams.On the basis of concern, without the advance return for a miracle like the story of Ali bin Abi Talib above, one afternoon the overcast, drizzly and cold. Representing feeling a little irritated, I sat alone in the guest chair, with both feet selonjor on the table. A cup of coffee seems pretty warm ginger.Suddenly, a middle-aged man appeared in the doorway while greeting. Men with relatively small stature, height about 125 cm is Mr. Ramli. As usual he first greeted me smile. Our family had been long enough to recognize Mr. Ramli. Approximately since settling in this housing a dozen years ago. His job as collector donated money to the donors orphanage which is located not far from the housing complex, Mr. Ramli made a loyal visitor to our house. Beginning the first week of every month, usually Mr. Ramli is always coming. Only this time, I was somewhat taken aback. I currently do not have money to donate. Although our family was recorded as the donor remains for the orphanage where Mr. Ramli serve, it does not mean we always have money for donations. And was not some time ago Mr. Ramli's here and it feels, I've paid for this month? I then went up to him. Before she could ask, Mr. Ramli first arrival times to explain this, for other purposes.For a moment he was silent. "Tell me sir, what can I help you, 'I urged him. "My son Mom, tomorrow receive a report card, but before I have to pay school fees in arrears, the total amount of  150.000, - Rupiah. I do not have the money, perhaps she could help me. God willing, next month I pay, "he said in a thick accent minang.Tuition, wow ..., again tuition. I myself, this afternoon has just done a little heavy psychologically. Going to the Principal and asked her policy so that children can still receive my report card. Although not yet paid tuition fees by the amount of ten times that required Mr. Ramli for his report card. Of course, I did not tell this problem to Mr. Ramli. Wherever possible I avoid being like a scene jokes in the story above. I then took the money in your wallet that takes a number of Mr. Ramli. For 150,000, - Rupiah seems to still exist. Problem shopping tomorrow, God will have lower sustenance, God willing.The same problem but not similar. Without intention to brag, I am among those who learned at least compared with Mr. Ramli. I have the power to appear before the Principal and succeed. I think it rightly so. Regarding school policy, there must be tolerance. Education, including government program priorities. In fact, the issue of education has become a commodity issue for a number of political figures to gain the sympathy of the people. Starting from the international standard of the school bid, cheap and even free education school, became a campaign slogan everywhere. So ironic, if there are schools that "hostage" report card with the reasons students do not pay school fees.But, for Mr. Ramli, a simple man, not fluent in Indonesia, this issue becomes very difficult. Until he could not sleep by the narrative. It was, less ethical as well, I teach Mr. Ramli in a way that I take in my child's report card fighting for. Even if I explain, very small chance of success. Therefore, based on observations, little man with a small body of hard to get a place anywhere, especially when dealing with bureaucracy in this country. I can only give limited that he can receive. Limited to testing the sense of concern ....

Read more...

MENGUJI KEPEDULIAN

Sepenggal dialog dalam adegan lawakan di televise tentang seorang pengemis dan seorang wanita. Si wanita parlente, berdiri di pinggir jalan. Menunggu taksi. Tiba-tiba seorang pengemis menghampirinya, sembari mengulurkna tangan: “Sedekah Mbak, saya belum makan!” katanya, memelas. “Sama, saya juga belum makan,” jawab si Wanita, enteng, tanpa melirik si pengemis.
Adegan lawakan memang bertujuan mengundang tawa. Saya pun tertawa. Sepintas, respon si Wanita itu, sangat tepat, tapi konyol: sama-sama belum makan. Dua kalimat serupa tetapi memiliki makna berbeda. Pengemis belum makan, mungkin karena tidak punya uang membeli makanan. Alias tidak ada yang mau dimakan. Sedangkan si Wanita belum makan, karena mungkin belum waktunya makan. Masih kenyang, atau sedang diet.
Kejadian seperti ini, acap kali ditemui dalam kehidupan nyata. Karena sesungguhnya hasil karya sastra, film, drama, musik, dll., diangkat dari phenomena masyarakatnya. Sering, seseorang bercerita tentang persoalan hidup yang dihadapi, justru lawan bicara bukannya mengungkapkan rasa simpati, apa lagi menawarkan bantuan. Malah sebalikanya. Mengeluh tentang persoalan yang menimpa dirinya pula. Persoalan yang sama tetapi memiliki karakteristik yang jauh berbeda. Barangkali, ini salah satu bentuk egoisme manusia. Atau mungkin juga upaya menghindari member pertolongan, walau sekedar ungkapan rasa simpati.
Kebanyakan dari kita, termasuk saya, mungkin juga Anda, sering beranggapan: “Tidak dapat membantu orang lain karena kita sendiri juga perlu dibantu”. Logikanya, barangkali memang demikian. Bagaimana membantu orang lain, sementara kita sendiri susah? Ketiadaan selalu menjadi alas an untuk menghilangkan kewajiban membantu sesama. Padahal, sejatinya setiap orang mesti memiliki rasa kepedulian yang lahir dari keyakinan akan adanya Tuhan, yang melihat setiap aktivitas hambaNya.
Sebuah kisah di zaman Rasulullah bertutur: Abu Hasan atau Ali bin Abi Thalib menantu Rasulullah, dikenal sebagai seorang sahabat Rasulullah yang dermawan. Abu Hasan pernah memberikan seluruh uang yang dimilikinya, sejumlah enam dirham kepada seorang pengemis. Uang tersbeut sedianya, untuk membeli makanan bagi kedua putranya: Hasan dan Husin. Alhasil, Abu Hasan pulang dengan tangan kosong. Ia menjelaskan kepada istrinya Fatimah Az-Zahra bahwa uang untuk membeli makanan telah ia “pinjamkan kepada Allah”, (orang yang memberikan uangnya kepada pengemis sama dengan memberi pinjaman kepada Allah- al Hadist).
Selanjutnya, pada hari yang sama Abu Hasan didatangi seorang Arab Badawi bermaksud menjual seekor unta kepada Abu Hasan seharga seratus dirham. Harga yang sangat murah kala itu. Dan hebatnya anak paman Rasulullah tersebut boleh membayarnya, kalau sudah punya uang. Selang beberapa waktu, datang lagi seorang Arab Badawi yang lain, menawar unta Abu Hasan seharga tiga ratus dirham. Tuhan telah memberi rezeki pada Abu Hasan sejumlah dua ratus dirham.
Atas dasar kepedulian, tanpa mengedepankan imbalan berupa mukjizat bagai kisah Ali bin Abi Thalib di atas, suatu sore yang mendung, gerimis dan dingin. Mewakili perasaan yang sedikit gundah, saya duduk sendirian di kursi tamu, dengan kedua kaki selonjor di atas meja. Secangkir kopi jahe agaknya cukup menghangatkan badan.
Tiba-tiba, seorang lelaki setengah baya muncul di ambang pintu sembari memberi salam. Lelaki dengan postur relative kecil, tinggi sekitar 125 cm adalah Pak Ramli. Seperti biasa ia lebih dulu tersenyum menyapa saya. Keluarga kami sudah cukup lama mengenali Pak Ramli. Kira-kira sejak menetap di perumahan ini belasan tahun silam. Tugasnya sebgai pemungut uang sumbangan kepada para donator panti asuhan yang berlokasi tak jauh dari komplek perumahan, membuat Pak Ramli menjadi pengunjung setia rumah kami. Setiap awal bulan minggu pertama, biasanya Pak Ramli selalu datang. Cuma kali ini, saya agak terperangah. Saat ini saya belum punya uang untuk mendonasi. Walau keluarga kami tercatat sebagai donator tetap bagi panti asuhan tempat Pak Ramli mengabdi, bukan berarti kami selalu punya uang buat donasi. Lagi pula bukankah beberapa waktu yang lalu Pak Ramli  sudah datang dan rasanya, saya sudah membayar untuk bulan ini? Saya lalu beranjak menghampirinya. Sebelum sempat bertanya, Pak Ramli lebih dulu menjelaskan kedatangannya kali ini, untuk maksud lain.
Sejenak dia terdiam. “Katakan saja Pak, apa yang dapat saya bantu,’ saya desak dia. “Anak saya Bu, besok terima rapor, tetapi sebelumnya saya harus melunasi iuran sekolah yang menunggak, total sejumlah Rp 150.000,-. Saya tidak punya uang, barangkali Ibu bisa membantu saya. Insya Allah bulan depan saya bayar,” ungkapnya dalam logat minang yang kental.
Uang sekolah, waahh…, lagi-lagi uang sekolah. Saya sendiri, siang tadi baru saja melakukan pekerjaan yang agak berat secara psikologis. Mendatangi Kepala Sekolah dan meminta kebijakan darinya agar anak saya tetap dapat terima rapor. Kendati belum bayar uang sekolah dengan jumlah sepuluh kali lipat dari yang diperlukan Pak Ramli buat rapor anaknya. Tentu saja, saya tidak menceritakan masalah ini kepada Pak Ramli. Sedapat mungkin saya menghindari sikap seperti adegan lawakan dalam kisah di atas. Saya lantas mengambil uang di dompet sejumlah yang dibutuhkan Pak Ramli. Untuk Rp 150.000,- agaknya masih ada. Soal belanja besok, Tuhan pasti menurunkan rezekinya, insya Allah.
Persoalan yang sama tetapi tak serupa. Tanpa maksud menyombongkan diri, saya termasuk orang yang terpelajar setidaknya dibanding Pak Ramli. Saya punya kuasa untuk menghadap Kepala Sekolah dan berhasil. Saya kira memang sudah sepantasnya demikian.  Menyangkut kebijakan sekolah, haruslah ada toleransi. Pendidikan, termasuk program pemerintah yang prioritas. Bahkan, masalah pendidikan sudah menjadi isu komoditas bagi sejumlah tokoh politik untuk meraih simpati rakyat. Mulai dari tawaran sekolah taraf  internasional, sekolah murah bahkan pendidikan gratis, menjadi slogan kampanye dimana-mana. Jadi ironis sekali, bila ada sekolah yang “menyandera” rapor muridnya dengan alas an belum bayar uang sekolah.
Tetapi, bagi Pak Ramli, seorang pria sederhana, tidak fasih berbahasa Indonesia, persoalan ini menjadi teramat sulit. Sampai ia sulit tidur menurut penuturannya. Rasanya, kurang etis pula saya mengajari Pak Ramli dengan cara yang saya tempuh dalam memperjuang rapor anak saya. Kalaupun saya jelaskan, kemungkinan berhasil sangat kecil. Sebab, berdasarkan pengamatan, orang kecil dengan tubuh yang kecil sulit mendapatkan tempat di manapun, terutama bila berurusan dengan birokrasi di negeri ini. Saya hanya bisa memberi sebatas yang dapat ia terima. Sebatas menguji rasa kepedulian….

Read more...

Jumat, 02 Desember 2011

TENTANG PJC

LEMBAGA PENDIDIKAN WARTAWAN  PEKANBARU  JOURNALIST CENTER (PJC)
KEMBALI MENERIMA SISWA BARU. DISKON BIAYA PENDIDIKAN 75%
HUBUNGI O81275233918/076173487
DENGAN KETENTUAN SBB:
  1. Belajar teori dan praktek
  2. Jadwal belajar  dapat dipilih; pagi, sore dan malam
  3. Total belajar teori  12 kali pertemuan

MATERI PELAJARAN
  1. Menulis berita                                      4 kali pertemuan
  2. Kode etik                                            2 kali pertemuan
  3. Hukum Pers                                         2 kali pertemuan
  4. Tehknik Wawancara                             2 kali pertemuan
  5. Strategi Menembus Nara Sumber         1 kali pertemuan
  6. Tehknik Pemotretan                              1 kali pertemuan

FASILITAS
  1. Ruang belajar Full AC
  2. Labor komputer dilengkapi WI FI
  3. Tempat magang di Media On Line
  4. Belajar komputer dasar dan internet
  5. Mendapatkan sartifikat

Read more...

Jumat, 25 November 2011

PEACE

If there are words that are difficult to be understood by millions of Indonesia on the night of Monday, November 21, 2011 ago, it was the word: "sincere". Indonesia national team defeat age 23 in the match against Malaysia Pinal night, not just failed to win the gold medal. After all, gold has been fed by many other athletes from different branches. Failing that, such a catastrophe is difficult to accept by anyone who claims to love the homeland. Gegagalan team "Garuda Young that night, mengguratkan deep disappointment, melancholy sadness, anger that can not be acted on anyone.Presumably, on that night, everyone suddenly became football commentator. Most of them, write the responses on her personal account on the internet. "I'm willing to Indonesia to lose against anyone, but not against Malaysia". I commented on Facebook. "The defeat is a victory that delayed, forever", commented another.Prima donna football as a sport worldwide. Admittedly, not merely entertainment or competition per se, but has been transformed into the arena of business, politics and a little friendship. For a nationalist, a football match between countries is an opportunity to tackle the country's greatest opponent. Moreover, when the state opponent, is a country which was considered a lot to do "sin" against the country. For example Indonesia and Malaysia.Hatred Indonesia against Malaysia occurred in many areas. Start a personal problem to political problems. Just look at Manohara case for example, girls who dipersunting Indonesia Malaysia Kelantan prince to be tortured, not used as a consort (if Manohara correct recognition). Some Indonesian women workers working in Malaysia. Go in good shape, came home bruised up defects. Presumably because the employer was tortured there. Problems annexation by Indonesia Malaysia Sarawak-Kalimantan border until now an increasingly sensitive issue. "The weakness of the Indonesian government surveillance in the border region has been utilized to move the shells pembabatas Malaysia as he pleased," according to Tempo magazine in one coverage.Therefore, a very humane when we, Indonesian people are very eager to "finish off" Malaysia, at least in Pinal game that night only. Just once ...!.Ambition to win that night, to be honest has been shrouded by a sense of hatred, happy to see Malaysia to its knees. We, especially me, as if forgetting that the ball remains the ball. The skin round is pursued by 22 people in a 45x2 minutes. That is, anything can happen. We're actually very close to defeat, although it is also close to victory.Therefore, should, even before the game started. We should have to surrender, sincere victory. Winning with sincerity / with a clean heart. Without rancor, without hatred. Yells may but need not euporia.But never mind, to this day, no one word that can console me for the defeat that night. I find it hard to win just sincere, much less to lose

Read more...

IKHLAS

Bila ada kata yang sulit untuk dipahami oleh jutaan penduduk Indonesia pada malam Senin, 21 November 2011 silam, itu adalah kata; “ikhlas”. Kekalahan Timnas Indonesia Usia 23 pada pertandingan pinal melawan Malaysia malam itu, bukan sekadar gagal meraih medali emas. Toh emas sudah didulang banyak oleh atlit lain dari cabang yang berbeda. Kegagalan itu, seperti sebuah petaka yang sulit diterima oleh siapapun yang mengaku cinta tanah air. Gegagalan tim “Garuda Muda malam itu, mengguratkan kekecewaan yang mendalam, kesedihan yang pilu, kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan pada siapapun.
Agaknya, pada malam itu, semua orang mendadak menjadi komentator sepakbola. Sebagian mereka,  menulis berbagai tanggapan pada akun pribadinya  di internet. “Aku rela Indonesia kalah melawan siapapun, tetapi tidak melawan Malaysia”. Komentarku pada Facebook. “Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda, selamanya”, komentar yang lainnya.
Sepakbola sebagai olahraga primadona di seluruh penjuru dunia. Diakui, tidak sebatas hiburan atau ajang kompetisi semata, tetapi telah menjelma menjadi ajang bisnis, politik dan sedikit persahabatan. Bagi seorang nasionalis, pertandingan sepakbola antar negara adalah kesempatan paling agung untuk menjegal negara lawan. Apalagi bila negara lawan, merupakan negara yang dinilai banyak berbuat  “dosa” terhadap negaranya. Contohnya Indonesia dengan Malaysia.
Kebencian Indonesia terhadap Malaysia terjadi pada banyak bidang. Mulai masalah pribadi sampai masalah politik. Lihat saja kasus Manohara misalnya, gadis Indonesia yang dipersunting pangeran Kelantan Malaysia untuk disiksa, bukan dijadikan permaisuri (kalau pengakuan Manohara benar). Beberapa tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di Malaysia. Pergi segar bugar, pulang babak belur hingga cacat. Diduga karena disiksa majikan di sana. Masalah pencaplokan wilayah  Indonesia oleh Malaysia di perbatasan Kalimantan-Sarawak hingga kini menjadi isu yang kian sensitif. “Kelemahan pengawasan pemerintah Indonesia di kawasan perbatasan tersebut telah dimanfaatkan Malaysia untuk memindahkan batok pembabatas sesuka hatinya”, demikian Majalah Tempo dalam salah satu liputan.
Oleh karenanya, menjadi sangat humanis bila kita, Bangsa Indonesia sangat berambisi untuk “menghabisi” Malaysia, setidaknya pada pertandingan pinal malam itu saja. Sekali saja…!.
Ambisi untuk menang malam itu, sejujurnya telah diselimuti oleh rasa kebencian, bahagia  melihat Malaysia bertekuk lutut. Kita, terutama saya, seakan lupa bahwa bola tetaplah bola. Si kulit bundar yang diuber oleh 22 orang dalam waktu 45x2 menit. Artinya, apapun bisa terjadi. Kita sesungguhnya sangat dekat dengan kekalahan, meskipun juga dekat dengan kemenangan.
Oleh sebab itu, seyogyanya, bahkan sebelum pertandingan dimulai. Kita mestinya harus berserah diri, ikhlas meraih kemenangan. Meraih kemenangan dengan ketulusan hati/dengan hati yang bersih. Tanpa dendam, tanpa kebencian. Boleh yel-yel tapi tak perlu euporia.Ikhlas, tidak hanya berlaku bagi yang menerima, tetapi juga bagi yang memberi.
Tapi sudahlah, hingga hari ini, tak ada satu katapun yang dapat menghiburku atas kekalahan malam itu. Untuk menang saja aku sulit ikhlas, apalagi untuk kalah.

Read more...

LBH KERAKYATAN © Layout By Hugo Meira.

TOPO