Total Tayangan Halaman

Jumat, 25 November 2011

IKHLAS

Bila ada kata yang sulit untuk dipahami oleh jutaan penduduk Indonesia pada malam Senin, 21 November 2011 silam, itu adalah kata; “ikhlas”. Kekalahan Timnas Indonesia Usia 23 pada pertandingan pinal melawan Malaysia malam itu, bukan sekadar gagal meraih medali emas. Toh emas sudah didulang banyak oleh atlit lain dari cabang yang berbeda. Kegagalan itu, seperti sebuah petaka yang sulit diterima oleh siapapun yang mengaku cinta tanah air. Gegagalan tim “Garuda Muda malam itu, mengguratkan kekecewaan yang mendalam, kesedihan yang pilu, kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan pada siapapun.
Agaknya, pada malam itu, semua orang mendadak menjadi komentator sepakbola. Sebagian mereka,  menulis berbagai tanggapan pada akun pribadinya  di internet. “Aku rela Indonesia kalah melawan siapapun, tetapi tidak melawan Malaysia”. Komentarku pada Facebook. “Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda, selamanya”, komentar yang lainnya.
Sepakbola sebagai olahraga primadona di seluruh penjuru dunia. Diakui, tidak sebatas hiburan atau ajang kompetisi semata, tetapi telah menjelma menjadi ajang bisnis, politik dan sedikit persahabatan. Bagi seorang nasionalis, pertandingan sepakbola antar negara adalah kesempatan paling agung untuk menjegal negara lawan. Apalagi bila negara lawan, merupakan negara yang dinilai banyak berbuat  “dosa” terhadap negaranya. Contohnya Indonesia dengan Malaysia.
Kebencian Indonesia terhadap Malaysia terjadi pada banyak bidang. Mulai masalah pribadi sampai masalah politik. Lihat saja kasus Manohara misalnya, gadis Indonesia yang dipersunting pangeran Kelantan Malaysia untuk disiksa, bukan dijadikan permaisuri (kalau pengakuan Manohara benar). Beberapa tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di Malaysia. Pergi segar bugar, pulang babak belur hingga cacat. Diduga karena disiksa majikan di sana. Masalah pencaplokan wilayah  Indonesia oleh Malaysia di perbatasan Kalimantan-Sarawak hingga kini menjadi isu yang kian sensitif. “Kelemahan pengawasan pemerintah Indonesia di kawasan perbatasan tersebut telah dimanfaatkan Malaysia untuk memindahkan batok pembabatas sesuka hatinya”, demikian Majalah Tempo dalam salah satu liputan.
Oleh karenanya, menjadi sangat humanis bila kita, Bangsa Indonesia sangat berambisi untuk “menghabisi” Malaysia, setidaknya pada pertandingan pinal malam itu saja. Sekali saja…!.
Ambisi untuk menang malam itu, sejujurnya telah diselimuti oleh rasa kebencian, bahagia  melihat Malaysia bertekuk lutut. Kita, terutama saya, seakan lupa bahwa bola tetaplah bola. Si kulit bundar yang diuber oleh 22 orang dalam waktu 45x2 menit. Artinya, apapun bisa terjadi. Kita sesungguhnya sangat dekat dengan kekalahan, meskipun juga dekat dengan kemenangan.
Oleh sebab itu, seyogyanya, bahkan sebelum pertandingan dimulai. Kita mestinya harus berserah diri, ikhlas meraih kemenangan. Meraih kemenangan dengan ketulusan hati/dengan hati yang bersih. Tanpa dendam, tanpa kebencian. Boleh yel-yel tapi tak perlu euporia.Ikhlas, tidak hanya berlaku bagi yang menerima, tetapi juga bagi yang memberi.
Tapi sudahlah, hingga hari ini, tak ada satu katapun yang dapat menghiburku atas kekalahan malam itu. Untuk menang saja aku sulit ikhlas, apalagi untuk kalah.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

LBH KERAKYATAN © Layout By Hugo Meira.

TOPO