Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 November 2012

ADVOKAT


ADVOKAT
Sebuah film yang dirilis era 80-an, berkisah tentang seorang wanita separo baya (Sopiah WD) pengasuh anak-anak yatim di sebuah rumah panti di Jakarta. Dari kejauhan, hamparan lahan yang sudah diratakan, terlihat rumah tua itu berdiri kokoh, sekokoh si pemiliknya mempertahankan bangunan tersebut dari penggusuran. Maklum, penggusuran memang sudah marak, terutama di Jakarta masa itu.
Suatu sore yang kelabu, Si Ibu (Sopiah WD) didatangi seorang pria muda berdasi (Rano Karno). Diketahui, Si Pria ternyata Pengacara sebuah perusahaan kontraktor, ia ditugasi mengurusi segala sesuatu dokumen yang berhubungan dengan pengosongan lahan. Kebetulan sekali, rumah panti asuhan tersebut termasuk dalam lokasi yang mesti dikosongkan.
Si Ibu mempersilakan tamunya masuk. Sembari memperkenalkan diri sewajarnya, Si Pria membuka map serta  menempelkan telunjuknya pada lembaran-lembaran yang harus ditandatangi Si Ibu. Maka terjadilah dialog.
“Ibu silakan tandatangan di sini, di sini, dan di sini” demikian perintah Si Pria.
Si Ibu bergeming, ia justru bertanya.
“Sudah berapa lama anak jadi pengacara?”.
“Dua tahun Ibu, kenapa?”, Si Pria menjawab sekaligus bertanya dengan sedikit heran.
“Anak yang baru jadi pengacara dua tahun, berani mengusir saya yang sudah mengasuh anak-anak yatim di rumah ini selama 40 tahun?” Kata Si Ibu dengan lantang.
Mendengar ucapan demikian, Si Anak muda sedikit tertunduk. Namun tetap memberi argumentasi.
“Ini demi kepentingan hukum Bu. Seperti yang Ibu ketahui, sudah ada keputusan pengadilan yang mengharuskan Ibu mengosongkan rumah ini.
“Hai, tahukah kau Anak Muda, bahwa hukum dan keadilan bukan didapat dari buku-buku yang kau pelajari selama bertahun-tahun. Tetapi di sini......!” Ia menampar dadanya sendiri dengan pelan. Tetapi bagi Si Pria, tamparan itu terasa amat keras ditujukan ke dadanya sendiri.
Si Pria menutup mapnya, lalu berjalan meninggalkan tempat itu, sembari mencopot dasi yang terasa mencekik lehernya. Oh Tidak. Si Pria tidak sekadar meninggalkan rumah itu dan mencopot dasinya, tetapi sekaligus meninggalkan profesi advokat dengan segala atributasinya. Ia kemudian berjuang  menegakkan keadilan dengan
caranya sendiri. Sesuai hati nuraninya.

Film ini saya tonton sudah sangat lama. Lebih dari 20 tahun silam. Tetapi, memasuki dunia advokat yang menantang, saya kembali teringat akan kisahnya. Sebagai advokat junior tentunya belum relevan bagi saya melontarkan statmen tentang profesi yang mulia ini, apalagi mengambil kesimpulan. Namun demikian, setidaknya saya sudah membantu beberapa orang dalam advis hukum. Orang-orang dengan berbagai karakter dan masalahnya. Secara umum tentunya mereka berhadapan dengan hukum, kehilangan hak, merasa tidak diperlakukan secara adil. Sebalikknya, Ada juga yang berupaya memperjuangkan haknya tetapi terlebih dulu telah mengabaikan hak orang lain. Hukum terkadang dijadikan alat untuk melegitiasi perbuatan tertentu. 
Lebih dari itu, sesungguhnya seorang klien, selain bermaslah secara hukum juga memiliki problem secara fisikogis. Maka, seorang advokat/konsulatasi hukum, selain piawai dalam menyelesaikan masalah hukum,juga dituntut punya kepekaan terhadap kondisi klien, kehidupan yang melatar belakangi perbuatannya, dll, sehingga mampu memberi rasa nyaman yang akhirnya melahirkan kepercayaan. Dan syukur-syukur dapat menyadari, bahwa konsultan terbaik bagi dirinya adalah dirinya sendiri

Aku ingat, di awal karir tahun 2010, saya didatangi seorang wanita muda, berusia menjelang 30 tahun. Sebut saja namanya R. Menurut keterangan R, ia dan seorang anak perempuannya ditinggal sang Suami berinisial B, empat tahun silam secara tidak bertanggungjawab. Belakangan diketahui, B menikah lagi dengan seorang wanita pilihan orang tuanya dan tinggal di kota yang sama dengan R. Berdasarkan penelusuran R, B bersama istri barunya kini, menjalankan usaha dagang emas di salah satu toko sebuah pasar ternama di kota ini.
Singkat cerita, sebagai penasehat hukum, sebelum melakukan langkah-langkah hukum, saya mencoba menempuh jalan kekeluargaan dengan menemui B di tokonya. B yang saya temui menceritakan kisah rumah tangganya bersama R dengan mata berkaca-kaca. “Agar Ibu tahu, waktu itu saya diusir R dengan kata-kata yang kasar, karena usaha yang saya jalani mengalami kebangkrutan. Saya pergi dengan sepasang pakaian di badan. Padahal kalau dirunut, kebangkrutan yang saya alami disebabkan oleh kebiasaan R yang pemboros”, demikian ungkapnya. Saya bergeming, dan berusaha profesional.
Tuntutan klien saya jelas. Biaya hidup R dan anak mereka selama ditinggal serta biaya anak kedepan, mengingat akan memasuki sekolah tahun ajaran ini. Dan status perkawinan mereka. R menuntut cerai. Itu saja.

Hari demi hari berlalu, dalam pengurusan perkara ini. Suatu hari, larut malam. Saya dikejutkankan oleh nada sms/pesan pendek masuk di handphone saya. Ternyata dari R. Agaknya pesan itu salah kirim. Isinya sangat tidak pantas dibaca wanita terhormat manapun. Di kegelapan malam saya termenung dan bertanya. Wanita seperti apa yang saya bela ini? Mungkin sadar smsnya salah kirim. R tak pernah menghubungi saya lagi. Sejak itu hubungan kerja dan pertemanan yang singkat di antara kamipun berakhir.

R, seperti klien-klien yang lain, selain bermasalah secara hukum juga memiliki problem secara fsikogis. Maka, seorang advokat/konsultan hukum, selain piawai dalam menyelesaikan masalah hukum, juga dituntut punya kepekaan terhadap kondisi klien. Memberikan bantuan hukum sembari menyadarkan klien dari sikap-sikapnya yang mungkin meletarbelakangi setiap perkara, adalah tantangan lain bagi seorang advokat. 
Wanita, klien saya yang lain tak kalah “hebat”. Terindikasi melakukan penipuan hingga ratusan juta rupiah.  Ia diciduk polisi dan ditahan. Hebatnya lagi,
ia malah berhasil membobol jeruji besi dan melarikan diri. Walau dalam pelariannya, ia kembali tertangkap.
Dari uraian contoh kisah di atas. Sebagai awam hukum. Saya harus banyak belajar. Terutama belajar tentang arti pembelaan atas nama kepentingan hukum. Dalam sebuah pembelaan biasanya mengandung beberapa dimensi, yang masing-masing tak ada yang lebih penting, melainkan semuanya penting. Ada kepentingan hukum, kepentingan klien, di antara itu terselip kepentingan hati nurani yang tak dapat dibohongi. Ada banyak kelompok tertindas tetapi tidak memiliki fakta hukum yang dapat diterima. Ada banyak fakta hukum tetapi tidak mencirikan keadilan yang hakiki. Maka, untuk menjaga keseimbangan itu, rasanya cukup adil bila Kode Etik Advokat membenarkan seorang advokat dapat menolak suatu perkara bila perkara itu bertentangan dengan hati nuraninya.  
Hukum sebagai suatu produk hanya mampu menjangkau kebenaran materil. Sedang kebenaran hakiki sesungguhnya bersemayam dalam dada setiap insan. Seperti yang diungkapkan Sang Ibu pada diolog film di atas.


Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

LBH KERAKYATAN © Layout By Hugo Meira.

TOPO