Total Tayangan Halaman

Jumat, 02 Desember 2011

TENTANG PJC

LEMBAGA PENDIDIKAN WARTAWAN  PEKANBARU  JOURNALIST CENTER (PJC)
KEMBALI MENERIMA SISWA BARU. DISKON BIAYA PENDIDIKAN 75%
HUBUNGI O81275233918/076173487
DENGAN KETENTUAN SBB:
  1. Belajar teori dan praktek
  2. Jadwal belajar  dapat dipilih; pagi, sore dan malam
  3. Total belajar teori  12 kali pertemuan

MATERI PELAJARAN
  1. Menulis berita                                      4 kali pertemuan
  2. Kode etik                                            2 kali pertemuan
  3. Hukum Pers                                         2 kali pertemuan
  4. Tehknik Wawancara                             2 kali pertemuan
  5. Strategi Menembus Nara Sumber         1 kali pertemuan
  6. Tehknik Pemotretan                              1 kali pertemuan

FASILITAS
  1. Ruang belajar Full AC
  2. Labor komputer dilengkapi WI FI
  3. Tempat magang di Media On Line
  4. Belajar komputer dasar dan internet
  5. Mendapatkan sartifikat

Read more...

Jumat, 25 November 2011

PEACE

If there are words that are difficult to be understood by millions of Indonesia on the night of Monday, November 21, 2011 ago, it was the word: "sincere". Indonesia national team defeat age 23 in the match against Malaysia Pinal night, not just failed to win the gold medal. After all, gold has been fed by many other athletes from different branches. Failing that, such a catastrophe is difficult to accept by anyone who claims to love the homeland. Gegagalan team "Garuda Young that night, mengguratkan deep disappointment, melancholy sadness, anger that can not be acted on anyone.Presumably, on that night, everyone suddenly became football commentator. Most of them, write the responses on her personal account on the internet. "I'm willing to Indonesia to lose against anyone, but not against Malaysia". I commented on Facebook. "The defeat is a victory that delayed, forever", commented another.Prima donna football as a sport worldwide. Admittedly, not merely entertainment or competition per se, but has been transformed into the arena of business, politics and a little friendship. For a nationalist, a football match between countries is an opportunity to tackle the country's greatest opponent. Moreover, when the state opponent, is a country which was considered a lot to do "sin" against the country. For example Indonesia and Malaysia.Hatred Indonesia against Malaysia occurred in many areas. Start a personal problem to political problems. Just look at Manohara case for example, girls who dipersunting Indonesia Malaysia Kelantan prince to be tortured, not used as a consort (if Manohara correct recognition). Some Indonesian women workers working in Malaysia. Go in good shape, came home bruised up defects. Presumably because the employer was tortured there. Problems annexation by Indonesia Malaysia Sarawak-Kalimantan border until now an increasingly sensitive issue. "The weakness of the Indonesian government surveillance in the border region has been utilized to move the shells pembabatas Malaysia as he pleased," according to Tempo magazine in one coverage.Therefore, a very humane when we, Indonesian people are very eager to "finish off" Malaysia, at least in Pinal game that night only. Just once ...!.Ambition to win that night, to be honest has been shrouded by a sense of hatred, happy to see Malaysia to its knees. We, especially me, as if forgetting that the ball remains the ball. The skin round is pursued by 22 people in a 45x2 minutes. That is, anything can happen. We're actually very close to defeat, although it is also close to victory.Therefore, should, even before the game started. We should have to surrender, sincere victory. Winning with sincerity / with a clean heart. Without rancor, without hatred. Yells may but need not euporia.But never mind, to this day, no one word that can console me for the defeat that night. I find it hard to win just sincere, much less to lose

Read more...

IKHLAS

Bila ada kata yang sulit untuk dipahami oleh jutaan penduduk Indonesia pada malam Senin, 21 November 2011 silam, itu adalah kata; “ikhlas”. Kekalahan Timnas Indonesia Usia 23 pada pertandingan pinal melawan Malaysia malam itu, bukan sekadar gagal meraih medali emas. Toh emas sudah didulang banyak oleh atlit lain dari cabang yang berbeda. Kegagalan itu, seperti sebuah petaka yang sulit diterima oleh siapapun yang mengaku cinta tanah air. Gegagalan tim “Garuda Muda malam itu, mengguratkan kekecewaan yang mendalam, kesedihan yang pilu, kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan pada siapapun.
Agaknya, pada malam itu, semua orang mendadak menjadi komentator sepakbola. Sebagian mereka,  menulis berbagai tanggapan pada akun pribadinya  di internet. “Aku rela Indonesia kalah melawan siapapun, tetapi tidak melawan Malaysia”. Komentarku pada Facebook. “Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda, selamanya”, komentar yang lainnya.
Sepakbola sebagai olahraga primadona di seluruh penjuru dunia. Diakui, tidak sebatas hiburan atau ajang kompetisi semata, tetapi telah menjelma menjadi ajang bisnis, politik dan sedikit persahabatan. Bagi seorang nasionalis, pertandingan sepakbola antar negara adalah kesempatan paling agung untuk menjegal negara lawan. Apalagi bila negara lawan, merupakan negara yang dinilai banyak berbuat  “dosa” terhadap negaranya. Contohnya Indonesia dengan Malaysia.
Kebencian Indonesia terhadap Malaysia terjadi pada banyak bidang. Mulai masalah pribadi sampai masalah politik. Lihat saja kasus Manohara misalnya, gadis Indonesia yang dipersunting pangeran Kelantan Malaysia untuk disiksa, bukan dijadikan permaisuri (kalau pengakuan Manohara benar). Beberapa tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di Malaysia. Pergi segar bugar, pulang babak belur hingga cacat. Diduga karena disiksa majikan di sana. Masalah pencaplokan wilayah  Indonesia oleh Malaysia di perbatasan Kalimantan-Sarawak hingga kini menjadi isu yang kian sensitif. “Kelemahan pengawasan pemerintah Indonesia di kawasan perbatasan tersebut telah dimanfaatkan Malaysia untuk memindahkan batok pembabatas sesuka hatinya”, demikian Majalah Tempo dalam salah satu liputan.
Oleh karenanya, menjadi sangat humanis bila kita, Bangsa Indonesia sangat berambisi untuk “menghabisi” Malaysia, setidaknya pada pertandingan pinal malam itu saja. Sekali saja…!.
Ambisi untuk menang malam itu, sejujurnya telah diselimuti oleh rasa kebencian, bahagia  melihat Malaysia bertekuk lutut. Kita, terutama saya, seakan lupa bahwa bola tetaplah bola. Si kulit bundar yang diuber oleh 22 orang dalam waktu 45x2 menit. Artinya, apapun bisa terjadi. Kita sesungguhnya sangat dekat dengan kekalahan, meskipun juga dekat dengan kemenangan.
Oleh sebab itu, seyogyanya, bahkan sebelum pertandingan dimulai. Kita mestinya harus berserah diri, ikhlas meraih kemenangan. Meraih kemenangan dengan ketulusan hati/dengan hati yang bersih. Tanpa dendam, tanpa kebencian. Boleh yel-yel tapi tak perlu euporia.Ikhlas, tidak hanya berlaku bagi yang menerima, tetapi juga bagi yang memberi.
Tapi sudahlah, hingga hari ini, tak ada satu katapun yang dapat menghiburku atas kekalahan malam itu. Untuk menang saja aku sulit ikhlas, apalagi untuk kalah.

Read more...

Rabu, 23 November 2011

A WRAPPER

Afternoon shade. My husband came for lunch and noon prayers. His job teaching at one university with a hectic schedule. One day, full. Although only two or three days a week, has made him sometimes a little tired. However, there is little knowledge sharing for one another, is a mission for him.
As he said good-bye at the door, he handed a gift to me. "There is a sheath of the faculty, for you alone", he said. Then, with gratitude blindly, the package was in my hands. I open the glove box. I mean sarong. Without realizing it I say: "Wow!" The color is wonderful. "This means to me".
Conscious of my own words, for a moment I was stunned. Sentence: "That is for my sarong", certainly a true statement. But, in fact I said absently. Yes, this glove is for me. Therefore, the first person who often kuhadiahi glove, is now gone.
Throughout the life of my household is close to twenty years. My recollection, I never bought a sarungpun. Even so, I have a lot of gloves. Glove is a glove-giving relatives companion taulan. Sometimes my birthday or husband. Most often, as Eid gifts like gloves black white yellow stripes motif that is in front of me, at this time.
Kegemaranku color. So, there's nothing wrong with saying, "this means for my glove." Because, if the color is not right for me. Or think, if it is suitable for older people, usually will kuhadiahi on my mother-in-law. But now, suitable or not for me, likely will remain for me. Except for when I wanted to give others. Devotion for the second-in-law, has completely ended.
Suddenly. There is a sense of sadness that my throat tightened at the end. I remember, mother-in-law who suffered from diseases osteophorosis and uric acid which makes it suffered a hip fracture. At least, that's the verdict of the doctor. To be sure, the mother could not stand let alone walk past three years. We, in turn ten child care for her daughter. I own so much to learn from the experience of the mother-in-law take care of this. Especially learn about the meaning of love. Sincerity and patience.
However, if there are people most guilty of the loss of her mother, would have been me. I can not do anything about it, when some people came to take her son to return home and settle there. Although the time to whisper in her ear that I and my husband would pick him up again before this Ramadan. I did come to him ahead of Ramadan, but not to pick him up, but the main purpose for a another job. Presumably, the job to pursue a career to be the main reason for me to give mothers on child care and other law.
In fact. I feel happy to live with my mother. I diligently hear the story about the past. Until I memorized some names fellow mom friends at school Batangtoru Student Park, circa the 40s. Among Mr. Prostration, Doctor Earlier, Mr Zulkifli and many more that I know none. On his father's curly-haired and bespectacled, is part of a happy childhood. I also diligently give prizes. Yes, in the form of gloves, reading books, or tapes and VCDs of songs El-Syuraya, dangdut songs from Megi Z etc..
Make no mistake. Although the mother was 74 years. He diligently studied. Beberpa often ask me about the modern term now. For example, the word "nepotism, franchise, spare parts," and other terms that are often heard on television.
I fully believe that death is in the hands of God. And, the task of the nurse, physician, not to postpone death. Rather it makes life better quality, by giving a sense of comfort and happiness for his patients.
I get up from my reverie and walked into the room, gift store at the crease glove glove glove-other existing in the closet. I closed the closet door by turning the key. Although the tomb mound of earth mothers have been closed exactly 40 days today. My heart will always be open for him. I began to follow his habit to read the Qur'an after each prayer. Expands smile will remain present in the lids of my eyes. Forever!
I acknowledge that my main career is caring for her children and grandchildren. Advocates of my career let flow slowly. It was okay. Maybe it is the case. After all, as the proverb: 'Never catch two rabbits at once in one hunt ". And thus may have been his nature. That life is like hiding in a wrapper. Pulled up looking legs, pulled down looking head. (Asmanidar)

Read more...

Sabtu, 19 November 2011

OUR CHILDREN & LOCAL LANGUAGES


One day, my youngest child once told me about his frustration at school. At that time he was attending class II Elementary School SD Islam Ashofa Pekanbaru. The reason, he did not get the value of Indonesian teachers on that day. Its value is empty. And oddly enough, of the 30 children in the class were only two people who were given a value. "Lo, as difficult as what was the question posed by Indonesian teachers that?". I questioned. Once described by my son, because it easily. Of course, for those who know and master.Story like this. Day was the first Indonesian language teaching in class IIA, class my child. Indonesian teacher entered, and the lesson begins. The subject matter is still about introductions. As an exercise, at the end of the lesson each student was asked to introduce themselves in their respective homelands. Well, only two children who can introduce themselves in the local language. The rest?, Ya can not, including my son. Interestingly, even one kid who introduced himself in English. The teacher questioned whether The Boy from class Inggris.all of student laugh. Mr little brown-skinned people are not British, and never go to England.My son was upset and protest. Why must there be such exercises. Because, according to the local language is the language of "village" that is not important to understand let alone studied. I myself, in the heart instead praising the Mother Teacher. Imagine, in the swift currents of modernization, information and technology, and words ending in "-tion" other, there are still teachers who are concerned with regional languages. This incident seemed to slap for me as a parent. I was born in the village, grew up in the village primary school until graduation. To this day still very fluent in "village", but never even just to introduce the language to the children of my own.At home, we use the Indonesian language as everyday language. Incidentally, my husband and I did not come from the same area, aka no compatriot. I came from the Left Kampar, Riau with local language are very much different with a husband who comes from Tapanuli, North Sumatra. Among us there is also no interest for each master and use the local language of each partner as the language of conversation at home. As a result, children can not use the local languages ​​of their ancestors, though only a few pieces of sentences. Mere words to introduce myself.Indeed, if we understand, each regional languages ​​have features that describe the culture and customs of high society. Toba Batak language, for example, as my husband explained, from the harsh his accent meanings contained polite. Old people of Batak never called someone with a name straight. Everyone there is a special greeting in honor. For example, boys are called "amaang" which means: "father". So, the boys considered the lowest level of our fathers. Peers called "lae" or "law", which means brother's wife, is a very respected person in the Indigenous Batak. On the Other hand, the expressions proverb which in its meaning, is also present in our vernacular. As society Taluk Kuantan proverb, "bondo wolaupun tu guncirik kaluar of chicken, if tolur, eat". That is, if all things, input, suggestions, criticisms, both goals, please r .With out  looking for where it came from the criticism. It describes how our elders used to describe the criticism as suggestions worth considering.Unfortunately, it may be only a few families among us who teach the children themselves about the local language, language decent nan, or proverb and meaning it. Especially for those who live in big cities. In this case, I included that do not teach. In fact, some families are more moderate use of foreign terms in everyday conversation. As a result, more and more outside the terms term become standard in our language.First, my brother sat on the banc during elementary school, regional languages ​​available subjects. However, when I was in school, in the late 70's, these subjects do not exist anymore. Perhaps, it is considered unimportant, like the notion of my child. Or perhaps also been shifted by the English lessons that had been taught since elementary school, ever since kindergarten. So, understandably, when there are children who assume that the local language is English.We deserve concerned. When parents or teachers no one cares about these conditions, can be predicted, the local language by itself will be eroded, and the more difficult to learn. As we know the language Sangskerta today. And, it is not possible, one day our children learn from certain universities abroad.Of course, it is a good progress, if we master, fluent in English. But do not forget to keep using the language and speech areas respectively. At the very least, to the smallest in the family environment.Hopefully, for my own, my child's experience and some friends can be a whip whips to "learn" to introduce the language, customs and culture of the region itself. In order, not overwritten rain rot, no cracked in times of heat.

Read more...

Jumat, 18 November 2011

INTIMACY

David Beckham
"Have you ever thought of sleeping with David Beckham? I slept with him almost every night ". That statement made Victoria Beckham, in a seminar of women some time ago in Los Angeles. On the occasion which was attended by hundreds of mothers and teenage daughters, Victoria describes vividly the secret intimacy of life with David Beckham, soccer star's world. He explained that the secret is very simple. Sleep in a state that is totally naked. Well ...............!

Although impressed vulgar, seems plausible. Why not. Men who suffer from impotence may even be cured, if the opportunity to sleep with a super model Victoria Bekhcam classmates. Naked anyway.

However, based on the story of female friends about her partner pleasure in making out. It seems that each individual has their own secret intimacy. There is a friend who said her husband happy when he dressed in his sleep. Then started having sex with a disarming little by little clothing on the body. When there are no plans making out, he slept with a complete wearing nightclothes. Although wearing towel only he did in the bathroom alone. The friend, he said precisely nudity is something that is very taboo and very secret in him. Hence only occurs when the-when the time is very special. And this is a special moment for her husband.

Meanwhile, a man-of-admitted me, never by accident (including a peek) a woman (sorry) are urinating on a friend's house who happened to be the event there. A house is being renovated bathroom, so the bathroom door was not installed intact. From a distance he had already glanced some metre pair of upper legs are white and smooth, he said. Suddenly, his chest shaking. He wondered and waited quietly who the hell was going out of the bathroom. Apparently, it was his wife who emerged from the bathroom. The moment it was a very memorable event for him and always imagined, especially when having sex with his wife. Intimacy is something very subjective.

Now, let's get out of the story-rather "hot" at the top. Looking at the intrinsic meaning of a piece of the word "intimacy". In terms of day-to-day "intimacy" are always associated with sexual relations. But, scientifically, from the point etymology, "romance" comes from the word "intimate" meaning hard, very close, close and intimate feelings. Feeling close and intimate (intimacy) does not mean anything, without first piece in other words, that "love". The man took johns sexy woman, sits docked at a cafe. Is an example of intimacy that is not meaningful, because it is not based on love.

And, according to Steven R. Covey most appropriate time to love your spouse is when feelings of love begins to thin, even when love is no longer perceived. Because according to Covey's "love" is not included adjectives such as those listed in the dictionary. But a verb.

In general, it is said men and even women-able to advance the company's business and gain a glorious career. Ironically, very few of those who persevere in the struggle to maintain cordial love lasting home. Feelings and levels of love that intimate nature left to only. thanks godness. Be aware of how many households that ran aground due to the drying up of love and intimacy. Now, many seminars, features that address these issues including tips on offer.

Of the various theories, the key to establish a real relationship is communication. Healthy communication creates a comfortable atmosphere. I've noticed that a household can not establish good communication with their partner. Never mind the style of Victoria Beckham sleeping, although sleeping roommate not. The reason, the wife could not sleep in air-conditioned room, while her husband otherwise. Consequently, the husband slept with a boy in the room, while his wife slept in separate rooms with other children. Even more sad, when there is a family picnic. The wife sat in the back seat, while her husband drove the car and sat beside the boy earlier.

More severe financial problems, his wife never knew how much the husband's income. Spending money given according wanted husband, not based on household needs. Husband bought any goods without ever telling his wife first. As a result, many years of family life has never experienced a significant advance. In fact, they were educated people. The husband instead of a political figure. Both husband and wife, as if walking on their own without a purpose.

In principle, women view love and intimacy more than just a verb. More than just an intense communication. Love and intimacy is the dedication in a long time, the endless demands of a lifetime. Although not rare, true devotion in the form of sacrifice ended in deep disappointment.

I myself do not want to romance a secret indulgence in bed, in any occasion. Sometimes, a husband instead of me doing a routine job. Sweeping, feeding pets, without being harassed is part of the intimacy that comes from the heart. Meanwhile, I myself joined the ranks of congestion, traffic passing slow-moving vehicles like the turtle is part of an impossible situation i change. A busy morning, the task of taking a child to school regularly, if do from the heart really is a form of intimacy in a peaceful harmony of love. (Asmanidar)

Read more...

Sabtu, 12 November 2011

MAK SANSUN

Adalah Mak Sansun, wanita setengah tua di desaku. Sehari-hari bekerja sebagai petani, penyadap karet mengikuti suaminya dalam “propesi” yang sama. Satu-satunya mata pencarian sebagai sumber kehidupan keluarga mereka.

Masa itu, menjelang tahun ajaran baru. Rencananya tahun ini aku masuk Sekolah Dasar. Hari-hariku diliputi perasaan aneh. Aku sendiri tak paham. Ada rasa senang, rasa takut, kalau-kalau aku tak sepenuhnya mengerti apa yang diajarkan guru nantinya. Mungkin aku akan dihukum. Berdiri di depan kelas dengan sebelah kaki, sementara kedua tangan memegang daun telinga. Setidaknya hukuman demikian kudengar dari kakakku yang sudah bersekolah.

Tapi tidak. Aku bertekad, sejak awal-awal sekolah aku akan belajar giat. Sehingga nilai harian maupun ulanganku memperoleh hasil maksimal. Ya, angka sepuluh, atau paling rendah delapanlah. Demikian tekadku.

Sebenarnya, bukan itu yang membuatku gelisah. Tetapi masalah lain. Bayangkan, tanggal masuk sekolah kian dekat, tetapi tak satupun perlengkapan sekolahku yang telah dipersiapkan. Bahkan aku belum didaftar. Berkali-kali aku merengek pada ayah, agar dibelikan buku serta peralatan sekolah yang lain. Tetapi ayah dengan enteng menjawab, “boro-boro beli buku sekarang, sekolah saja belum”.

Akhirnya, beberapa hari menjelang masuk sekolah, ayah membelikanku selembar buku tulis isi 40, sebatang pensil, dan sebilah penggaris kayu. Benda-benda “istimewa” ini dimasukkan ke dalam plastik kresek. Itulah “modal” pertamaku menginjakkan kaki di bangku sekolah. Sementara, baju seragam, sepatu dan tas menyusul beberapa bulan kemudian secara bertahap.   

Karena belum bersekolah, aku selalu diajak kedua orang tua malam talang (menginap di talang). Talang adalah perladangan di tengah hutan dengan beberapa keluarga. Berjalan kaki sejauh 5 atau 6 km, membuat aku dan adikku sangat capek. Untuk itu, kami sering beristirahat sekedar mengambil tenaga.

Tempat istirahat paling paporit adalah di bawah pendakian talago (Pendakian telaga). Disebut Pendakian Talago, mungkin karena sepanjang tahun, baik dimusim kemarau apa lagi musim hujan. Pendakian yang cukup terjal dan panjang ini mengeluarkan rembesan air yang membasahi kerikil di jalan. Beberapa kilometer setelah Pendakian Talago, terdapat hamparan kebun karet rakyat. Pendakian Talago menjadi saksi bisu, betapa getirnya kehidupan masyarakat penyadap karet di kawasan itu.

Di bawah Pendakian Talago, tepatnya tempat kami duduk-duduk di tepian sungai kecil. Mengalirkan airnya yang bening, sebening air mata. Dengan pasirnya yang  putih seperti kapas. Oleh karenanya, di sebut Sungai Jonieh (sungai jernih).

Ku ingat, waktu itu, tepatnya hari Kamis. Para petani di talang pulang ke koto (kembali ke desa) dengan membawa hasil sadapan karet yang telah terkumpul selama satu atau dua pekan. Dari kejauahan kulihat sepasang suami istri menyeret sepeda unta yang sarat muatan bongkah getah, bersiap menuruni pendakian.

Dialah Mak Sansun. Dengan posisi, suaminya di depan, memegang kedua stang sepeda. Sementara, Mak Sansun sendiri bertugas menahan sepeda yang dipastikan remnya blong. Sebatang kayu, seukuran stik pramuka, yang bercabang di salah satu ujungnya, dikaitkan pada besi boncengan sepeda. Ujungnya yang lain ditarik Mak Sansun dari belakang. Seperti permainan tarik tambang. Bedanya, kayu penahan tersebut ditarik sembari dibiarkan maju pelan, sedikit-demi sedikit. Sistem mengerem yang unik tentunya.

Dengan hati-hati mereka menuruni pendakian. Sampai setengah penurunan yang semakin curam, basah dan licin. Tiba-tiba saja Mak Sansun melepaskan kayu penahan. Tentu saja, sekonyong-konyong suaminya bersama sepeda melaju pesat, kemudian tersandar di sebatang pohon kayu. Suara suami Mak Sansun terdengar menggelegar memaki istrinya. Dengan wajah ketakutan Mak Sansun berkomentar singkat. “Aku sudah tidak tahan”.
Orang-orang yang tengah beristirahat sembari bercakap-cakap, serempak diam seribu bahasa. Kecuali beberapa lelaki berdiri membantu suami Mak Sansun. Meletakkan sepedanya seperti semula. Entah karena kesal dan malu, atau keduanya, suami istri itu tidak beristirhat seperti yang lainnya. Mereka berlalu begitu saja. Selang beberapa saat, orang-orang dewasa yang ada di situ tertawa terbahak-bahak. Aku sangat heran. Apanya yang lucu?
Tahun berlalu musim berganti. Aku pun sudah dewasa, berkeluarga dan dikarunia 3 orang anak. Cuma saja, kehidupan mereka sangat kontradiktif dengan masa kecilku dulu. Urusan sekolah misalnya. Jauh-jauh hari, bahkan sebelum tahun ajaran baru. Aku sudah melihat-lihat sekolah mana kiranya yang pas untuk mereka. Dengan mengumpulkan berbagai impormasi lewat brosur. Berbagai keunggulan ditawarkan.
Ada sekolah islam plus, sekolah full day school, Sekolah Bertahap Internasional, dan entah apa lagi. Kadang aku malas membacanya secara teliti. Kecuali di bagian kolom yang ada angka-angka tercetak rapi. Ya. Itulah angka rupiah yang bernilai jutaan, biaya sekolah yang harus dibayar. Sebuah angka yang fantastis, setidaknya menurut kemampuan keuangan keluargaku.
Belum soal perlengkapan. Jauh-jauh hari mereka sibuk mendesak saya untuk berbelanja berbagai perlengkapan sekolah. Tas bermerek, buku tulis dalam hitungan lusin, dan banyak perlengkapan lain yang cukup panjang untuk ditulis satu persatu. Apa boleh buat. Demi menyongsong masa depan yang kian kompetitif. Sebuah alasan tanpa penawaran.
Walau peristiwa Mak Sansun di Pendakian Talago sudah berlalu lebih dari 30 tahun. Aku tetap mengenangnya sebagai pelajaran hidup yang berharga, Kadang, waktu adalah ruang yang tepat untuk menjawab sebuah pertanyaan.
Dalam kehidupan berumahtangga, sebagian kecil wanita, para istri, pun para suami ada yang berlaku seperti Mak Sansun. Melepaskan tanggungjawab disaat-saat yang genting. Ketika beban kehidupan kian menghimpit, ekonomi semakin seret. Tega meninggalkan pasangan begitu saja. Lalu dengan enteng memberi alasan, “Aku sudah tidak tahan”. Padahal, di masa hidup jaya, rezeki berlimpah, mereka begitu saling setia. Bahkan, kekurangan pasangan masing-masing bisa dimaklumi.
Aku juga mengambil pekerti dari orang-orang yang tertawa terbahak-bahak. Ternyata, adakalanya, kejadian buruk yang menimpa seseorang menjadi bahan tertawaan bagi yang lainnya. Pelajaran hidup berharga, yang tak pernah diajarkan di sekolah termahal di dunia sekalipun. (Asmanidar)

Read more...

KEMESRAAN

“Pernakah anda membayangkan tidur dengan David Beckham? Saya tidur dengannya hampir setiap malam”. Itulah pernyataan yang dilontarkan Victoria Beckham, dalam sebuah seminar para wanita beberapa waktu silam di Los Angles. Pada kesempatan yang dihadiri oleh ratusan ibu-ibu dan remaja putri itu, Victoria memaparkan dengan gamblang rahasia kemesraannya hidup bersama David Beckham, Bintang sepakbola dunia itu. Ia menjelaskan, bahwa rahasianya sangat sederhana. Yakni tidur dalam keadaan telanjang bulat. Wah...............!

Walau terkesan vulgar, agaknya masuk akal. Betapa tidak. Pria yang mengidap impotensi sekalipun mungkin akan sembuh, bila berkesempatan tidur dengan seorang super model sekelas Victoria Bekhcam. Dalam keadaan telanjang pula.

Tetapi, berdasarkan cerita teman-teman wanita tentang kesenangan pasangannya dalam hal bermesraan. Agaknya masing-masing individu memiliki rahasia kemesraan sendiri-sendiri. Ada teman yang mengatakan bahwa suaminya senang bila ia berpakaian saat tidur. Lalu memulai bercinta dengan melucuti sedikit demi sedikit pakaian di badan. Bila tidak ada rencana bermesraan, ia tidur dengan mengenakan pakaian tidur yang lengkap. Memakai handukpun hanya ia lakukan di kamar mandinya saja. Si teman ini, katanya justru ketelanjangan merupakan sesuatu yang amat tabu dan amat rahasia dalam dirinya. Makanya hanya terjadi bila-bila waktu yang amat khusus. Dan ini moment yang istimewa bagi suami.

Sedangkan, seorang lelaki—orang dekatku—mengaku, pernah secara tidak sengaja (ter-intip) seorang wanita (maaf) sedang buang air kecil di rumah teman yang kebetulan ada acara di situ. Sebuah rumah yang kamar mandinya tengah direnovasi, sehingga pintu kamar mandi tersebut belum terpasang utuh. Dari jarak beberpa meter ia terlanjur melirik sepasang kaki bagian atas yang putih dan mulus, katanya. Sontak, dadanya gemetar. Ia penasaran dan menunggu secara diam-diam siapa gerangan yang bakal keluar dari kamar mandi. Ternyata, justru istrinya yang muncul dari kamar mandi. Momen itu adalah peristiwa yang amat berkesan baginya dan selalu terbayang terutama saat bercinta dengan sang istri. Kemesraan adalah sesuatu yang sangat subjektif.  

Sekarang, mari kita keluar dari cerita yang rada-rada “hot” di atas. Melihat makna hakiki dari sepotong kata  “kemesraan”. Dalam istilah sehari-sehari “kemesraan” memang selalu dikaitkan dengan hubungan seksualitas. Tetapi, secara ilmiah, dari sudut etimilogi, “kemesraan” berasal dari kata “mesra” yang berarti lekat, sangat erat, perasaan dekat dan intim. Perasaan dekat dan intim (kemesraan) tidak bermakna apa-apa, tanpa didahului  sepotong kata lain, yakni “cinta”. Para lelaki hidung belang yang menggandeng wanita seksi, duduk merapat di sebuah kafe. Adalah contoh kemesraan yang tak bermakna, karena tidak didasari oleh cinta.

Dan, menurut Steven R. Covey saat paling tepat untuk mencintai pasangan adalah bila perasaan cinta mulai menipis, bahkan bila cinta sudah tak dirasakan lagi. Karena menurut Covey “cinta” bukanlah termasuk kata sifat seperti yang tertera di kamus. Melainkan kata kerja.

Secara umum—konon lelaki dan bahkan wanita—mampu memajukan sebuah perusahaan bisnis dan mendulang karir gemilang. Ironisnya, sangat sedikit dari mereka yang gigih berjuang mempertahankan cinta mesra dalam rumah tangga yang langgeng. Perasaan serta kadar cinta nan mesra  diserahkan kepada alam semata.Syukurlah. Sadar akan betapa banyaknya rumah tangga yang kandas akibat mengeringnya cinta dan kemesraan. Kini, banyak seminar-seminar, fieture-fieture yang membahas masalah tersebut termasuk tips-tips yang ditawarkan.

Dari berbagai teori, kunci utama menjalin suatu hubungan sesungguhnya adalah komunikasi. Komunikasi yang sehat menciptakan suasana yang nyaman. Aku pernah memperhatikan sebuah rumahtangga yang tak dapat menjalin komunikasi yang baik dengan pasangannya. Jangankan tidur gaya Victoria Beckham, tidur sekamarpun tidak. Alasannya, si Istri tidak bisa tidur dalam ruangan ber-AC, sementara suami sebaliknya. Akibatnya, suami tidur dengan anak lelaki di kamar, sementara istrinya tidur di ruang terpisah bersama anak yang lain. Yang lebih menyedihkan, bila ada acara piknik keluarga. Istri duduk di jok belakang, sementara suami menyetir mobil dan duduk di sampingnya anak laki-laki tadi.   

Masalah keuangan lebih parah, istri tak pernah tahu berapa penghasilan suami. Uang belanja diberi sesuai keingan suami, bukan berdasarkan kebutuhan rumahtangga. Suami membeli barang-barang apa saja tanpa pernah memberi tahu terlebih dulu pada istrinya. Alhasil, bertahun-tahun kehidupan keluarga ini tak pernah mengalami kemajuan yang signifikan. Padahal, mereka orang-orang terpelajar. Sang suami malah seorang tokoh politik. Baik suami maupun istri,  seakan berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan.

Pada prinsifnya, para wanita memandang cinta dan kemesraan lebih dari sekedar kata kerja. Lebih dari sekadar komunikasi yang intens. Cinta dan kemesraan adalah dedikasi dalam waktu yang lama, tuntutan yang tak bertepi sepanjang hayat. Walau tak jarang, pengabdian dalam bentuk pengorbanan sejati berakhir dengan kekecewaan yang mendalam.

Aku sendiri tak hendak mengumbar rahasia kemesraan di ranjang, dalam kesempatan manapun. Terkadang, suami menggantikan aku mengerjakan pekerjaan rutin. Menyapu, memberi makan binatang piaraan, tanpa merasa dilecehkan adalah bagian dari kemesraan yang datang dari hati. Sementara, aku sendiri bergabung dalam barisan kemacetan, lalu-lalang kendaraan yang berjalan lambat bak kura-kura adalah bagian dari situasi yang tak mungkin kurubah. Pagi yang sibuk, tugas rutin mengantar anak ke sekolah, bila dilakkukan dari hati sesungguhnya adalah bentuk kemesraan dalam harmonisasi cinta yang damai. (Asmanidar)

Read more...

SEHELAI SARUNG

Siang yang teduh. Suamiku datang untuk makan siang dan sholat zuhur. Tugasnya mengajar di salah satu Perguruan Tinggi dengan jadwal yang padat. Satu hari, full.  Walau cuma dua atau tiga hari sepekan, telah  membuatnya kadang sedikit lelah. Namun, membagi sedikit ilmu yang ada buat sesama, baginya merupakan sebuah misi.

Sembari mengucapkan salam di ambang pintu, ia mengulurkan sebuah bingkisan kepada ku. “Ada sarung dari fakultas, untuk mu saja”, ujarnya. Lalu, dengan ucapan terimakasih sekenanya, bingkisan itu sudah berada di tangan ku. Ku buka kotak sarung itu. Kain sarung maksudku. Tanpa sadar aku berucap: “Wah!” Warnanya bagus sekali. “Berarti ini untuk ku”.

Sadar akan ucapan ku sendiri, sejenak aku tertegun. Kalimat: “Berarti sarung ini untuk ku”, tentunya sebuah statement yang benar. Namun, sesungguhnya kuucapkan tanpa sadar. Ya,  sarung ini memang untukku. Sebab, orang pertama yang sering kuhadiahi sarung, kini telah tiada.

Sepanjang kehidupan rumah tanggaku yang mendekati dua puluh tahun. Seingat ku, aku tak pernah membeli sehelai sarungpun. Walau begitu, aku memiliki banyak sarung. Sarung-sarung tersebut merupakan pemberian kerabat handai taulan. Kadang hadiah ulang tahunku atau suami. Paling sering, sebagai bingkisan lebaran seperti sarung warna hitam motif garis kuning putih yang ada di hadapanku, saat ini.

Warna kegemaranku. Jadi, tak ada yang salah dengan ucapan, “berarti sarung ini untuk ku”. Sebab, kalau warnanya kurang pas buatku. Atau menurutku, jika memang cocok untuk orang tua, biasanya akan kuhadiahi pada ibu mertua ku. Tetapi kini, cocok atau tidak untukku, agaknya akan tetap untukku. Kecuali bila aku ingin menghadiahkan buat yang lain. Pengabdianku buat kedua mertua, sepenuhnya telah berakhir.

Sekonyong. Ada rasa sedih yang mencekat di ujung tenggorokanku. Aku ingat, ibu mertua yang menderita penyakit osteophorosis serta asam urat yang membuatnya mengalami retak tulang pinggul. Setidaknya, itulah vonis dokter. Yang pasti, ibu tidak bisa berdiri apalagi berjalan sejak tiga tahun terakhir.  Kami, sepuluh anak menantunya secara bergiliran merawatnya. Aku sendiri begitu banyak belajar dari pengalaman merawat ibu mertuaku ini. Terutama belajar tentang arti cinta. Ikhlas dan kesabaran.

Namun, bila ada orang yang paling  bersalah atas kepergian ibu, tentulah aku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, ketika beberapa orang anaknya datang menjemput untuk kembali ke kampung halamannya dan menetap di sana. Walau sempat kubisikkan di telinganya bahwa aku dan suami akan menjemputnya kembali menjelang Ramadan ini. Aku memang datang padanya menjelang Ramadan, tetapi bukan untuk menjemputnya, melainkan tujuan utama untuk sebuah pekerjaan lain. Agaknya, pekerjaan mengejar karir menjadi alasan utama bagiku untuk menyerahkan perawatan ibu pada anak dan menantunya yang lain.

Padahal. Aku merasa ibu senang tinggal bersama ku. Aku rajin mendengar ceritanya tentang masa silam. Sampai aku hapal beberapa nama teman ibu sesama sekolah di Taman Siswa Batangtoru, sekitar tahun 40-an. Di antaranya Pak Sujud, Dokter Awal, Pak Zulkifli dan banyak lagi yang tak satupun ku kenal. Tentang ayahnya yang berambut keriting dan berkacamata, adalah bagian masa kecilnya yang bahagia. Aku juga rajin memberinya hadian. Ya, berupa sarung, buku bacaan, atau kaset dan VCD lagu-lagu El-Syuraya, lagu dangdut dari Megi Z dsb.

Jangan salah. Walau ibu sudah 74 tahun. Dia rajin belajar. Sering bertanya padaku tentang beberpa istilah modern kini. Misalnya, kata “nepotisme, waralaba, suku cadang”, dan istilah-istilah lain yang acap didengarnya di televise.

Aku percaya bahwa ajal sepenuhnya ada di tangan Allah. Dan, tugas para perawat, dokter sekalipun, bukan untuk menunda kematian. Melainkan menjadikan hidup lebih berkualitas, dengan cara memberi rasa nyaman dan bahagia bagi para pasiennya.

Aku beranjak dari lamunan dan berjalan ke kamar, menyimpan bingkisan sarung pada lipatan sarung-sarung lain yang sudah ada di lemari. Ku tutup pintu lemari dengan memutar kuncinya. Walau makam ibu sudah ditutup tumpukan tanah 40 hari tepatnya hari ini. Hati ku akan selalu terbuka untuknya. Aku mulai mengikuti kebiasaannya membaca Alqur’an setiap usai sholat. Senyumnya yang mengembang akan tetap hadir di pelupuk mataku. Selamanya!

Aku harus sadar, bahwa karir ku yang utama adalah merawat anak dan cucunya. Biarlah karir Advokat-ku mengalir perlahan. Biasa saja. Mungkin sudah demikian adanya. Toh, seperti pepatah: “Tak mungkin menangkap dua ekor kelinci sekaligus dalam sekali perburuan”. Dan mungkin sudah demikian kodratnya. Bahwa hidup ini ibarat bersembunyi di sehelai sarung. Ditarik keatas tampak kaki, ditarik ke bawah tampak kepala.   (Asmanidar)

Read more...

  KEBAHAGIAAN
“Kebahagian” berasal dari kata “bahagia” yang berarti perasaan senang, jauh dari hal-hal yang menyusahkan. Kata ini demikian populer, dan secara umum orang memiliki tujuan hidup untuk meraih kebahagian. Sesungguhnya, setiap orang memiliki penafsiran serta ukuran sendiri-sendiri tentang makna kebahagian, demikian juga cara mencapainya. Kebahagian amat tergantung dari sudut mana seseorang memandang. 
     Para pakar menyebutkan kebahgian bersumber dari dalam diri setiap orang. Namun, keadaan di luar diri kita tidak dapat dipungkiri, sebagai sesuatu yang berpengaruh besar terhadap pencapain kebahagian. Usaha pemenuhan kebutuhan yang bersifat material kadang begitu menghimpit. Kita, terutama yang hidup di kota-kota besar, pun merambah ke sebagian warga pedesaan acapkali menggantungkan kebahagian pada keadaan di luar diri kita. Kepada hal-hal yang bersifat kebendaan/materi, bahkan kepada sesuatu yang masih sebatas rencana dan harpan, hingga mengabaikan apa yang diraih hari ini.
      Ada banyak orang yang begitu khawatir tentang masa depan  dirinya dan anak-anaknya. Seorang pegawai yang bergaji besar sangat khawatir akan masa pensiunnya, kelak. Hingga ia merasa perlu mempersiapkan diri sedini mungkin dengan menginvestasikan pendapatannya. Membeli  berbagai asset dalam bentuk properti, tanah, rumah, kebun sawit dan dalam bentuk lainnya dengan iming-iming keuntungan yang berlipat ganda. Ia lupa, bahwa setiap harta ialah liabilitas yang membutuhkan biaya perawatan dan pemeliharaan. Hingga akhirnya kehabisan uang dan keteteran membayar tagihan-tagihan bulanan. Alhasil, ia menjadi gelisah, cemberut dan murung. Bila kondisi ini berlarut-larut, kebahagian menjadi sepotong kata yang demikian absurd. 
     Berbeda dengan kisah keluarga kecil berikut ini. Kisah ini terungkap dalam tugas saya menjalankan misi, yang acap berkunjung ke desa tempat saya dilahirkan. Suatu senja, saya duduk-duduk di teras rumah tua milik keluarga sembari menunggu azan magrib. Sebuah sepeda motor terparkir di sudut halaman rumah. Sang pemilik; Rus, demikian ia akrab disapa, tengah sibuk menggosok-gosok kendaraannya dengan selembar kain lap. 
Tampaknya, Rus bukan menggosok motornya untuk dibersihkan sebab sebelumnya sudah bersih, tapi lebih tepatnya mengelus. Ya, sang Pemilik sangat bangga memiliki kendaraannya, ini terlihat dari kondisi motor tersebut yang masih mengkilap dalam usia kepemilikikannya yang sudah hampir empat tahun. Masih seperti baru keluar dari toko. Betapa tidak, kendaraan itu ternyata lebih sering terfarkir di rumahnya ketimbang dipakai. Rus, lebih sering berjalan kaki, terutama di musim hujan sebab jalan desa menjadi becek dan tentunya mengotori kendaraan yang lalu-lalang. Rus, dan keluarga kecilnya sering bertandang ke rumah kami, kebetulan ia teman baik adik lelaki saya. 
     Rus, pria berusia sekitar 30 tahun ini secara konsisten menjalankan profesinya sebagai pengetam kayu menggunakan peralatan manual, pekerjaan kasar tentunya. Mungkin itu sebab badannya kelihatan kekar dan lengannya legam berotot. Tanpa membuang waktu melakukan pitnes atau olah raga lainnya. Ia tidak pernah khawatir tentang kelebihan berat badan serta penyakit  kolesterol yang menyertainya. Pekerjaan yang ia lakoni hampir setiap hari itu lebih ampuh membakar lemak dan membentuk otot ketimbang olah raga jenis apapun. Bahkan di malam hari terkadang Rus masih harus bekerja menjadi tukang pijit para pria yang juga pekerja kasar di kampung. Itu semua ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, plus membayar angsuran sepeda motor kesayangannya.
     Sedang sang istri; Iyut, wanita muda berkulit gelap aktif bekerja sebagai penyadap karet di kebun warga lain dengan sistem bagi hasil. Di musim kemarau Iyut dan putri bungsunya jarang terlihat. Ia membawa serta balitanya memanfaatkan musim kemarau seefektif mungkin. Syukur-syukur bisa menyimpan sedikit uang sebagai cadangan bila musim hujan tiba. Banyak petani penyadap karet di daerah itu terancam kelaparan di musim hujan. Inilah resiko pekerjaan yang tergantung dari keadaan alam semata. 
     Iyut dan putrinya tersebut,  teman saya bercakap-cakap di sore itu. Seperti suaminya, Iyut juga sangat bahagia sebagai seorang wanita dan seorang istri serta ibu dari kedua anak-anak mereka. Kata Iyut, kadang orang bertanya kepadanya. “Anak siapa yang kau asuh itu?”. Pertanyaan ini muncul karena anaknya berkulit lebih terang dari dirinya hingga orang meragukan tentang keberadaan mereka sebagai ibu dan anak. Benar atau tidak cerita Iyut tentang ungkapan pertanyaan itu, yang pasti itu adalah salah satu caranya mengungkapkan kebanggaan atas putrinya yang memang berkulit lebih terang dari dirinya sendiri. 
     Kunjungan mereka sore itu sebenarnya lebih dari sekadar bertamu. Suami- istri ini, meminta semacam rekomendasi lisan dari saya. Agar putri mereka dapat diterima di Taman Kanak-Kanak (TK) Bakti Ibu, TK yang saya bangun bersama beberapa orang kerabat. Sebab beredar kabar bahwa setiap anak yang mendaftar sebagai siswa di TK Bakti Ibu, satu-satunya TK di desa itu, harus membawa akte lahir sebagai salah satu syarat. Sementara putri mereka tidak memilikinya. 
     Cerita punya cerita terungkap bahwa keluarga ini ternyata tidak memiliki identitas tertulis dalam bentuk apapun, baik kartu keluarga, surat nikah, serta kartu tanda penduduk (KTP) sekalipun. Bahkan, sepeda motor yang mereka beli dengan sistem kredit dibuat atas nama orang lain, atas dasar kepercayaan. Demikian juga STNK-nya. Apakah mereka bisa tulis baca atau tidak itu yang tidak terungkap, karena saya agak segan mempertanyakannya.
     Saya makin mengenal mereka dari perbincangan di sore itu. Cara mereka meraih kebahagian begitu sederhana. Menggantungkan kehidupan pada tenaga fisik serta kemurahan alam, bahagia atas apa yang dimiliki, menaruh kepercayaan kepada orang lain. Sedang hal-hal di luar itu seperti secarik identitas formal, agaknya kurang berpengaruh. (ASMANIDAR)

Read more...

LBH KERAKYATAN © Layout By Hugo Meira.

TOPO