Total Tayangan Halaman

Sabtu, 12 November 2011

MAK SANSUN

Adalah Mak Sansun, wanita setengah tua di desaku. Sehari-hari bekerja sebagai petani, penyadap karet mengikuti suaminya dalam “propesi” yang sama. Satu-satunya mata pencarian sebagai sumber kehidupan keluarga mereka.

Masa itu, menjelang tahun ajaran baru. Rencananya tahun ini aku masuk Sekolah Dasar. Hari-hariku diliputi perasaan aneh. Aku sendiri tak paham. Ada rasa senang, rasa takut, kalau-kalau aku tak sepenuhnya mengerti apa yang diajarkan guru nantinya. Mungkin aku akan dihukum. Berdiri di depan kelas dengan sebelah kaki, sementara kedua tangan memegang daun telinga. Setidaknya hukuman demikian kudengar dari kakakku yang sudah bersekolah.

Tapi tidak. Aku bertekad, sejak awal-awal sekolah aku akan belajar giat. Sehingga nilai harian maupun ulanganku memperoleh hasil maksimal. Ya, angka sepuluh, atau paling rendah delapanlah. Demikian tekadku.

Sebenarnya, bukan itu yang membuatku gelisah. Tetapi masalah lain. Bayangkan, tanggal masuk sekolah kian dekat, tetapi tak satupun perlengkapan sekolahku yang telah dipersiapkan. Bahkan aku belum didaftar. Berkali-kali aku merengek pada ayah, agar dibelikan buku serta peralatan sekolah yang lain. Tetapi ayah dengan enteng menjawab, “boro-boro beli buku sekarang, sekolah saja belum”.

Akhirnya, beberapa hari menjelang masuk sekolah, ayah membelikanku selembar buku tulis isi 40, sebatang pensil, dan sebilah penggaris kayu. Benda-benda “istimewa” ini dimasukkan ke dalam plastik kresek. Itulah “modal” pertamaku menginjakkan kaki di bangku sekolah. Sementara, baju seragam, sepatu dan tas menyusul beberapa bulan kemudian secara bertahap.   

Karena belum bersekolah, aku selalu diajak kedua orang tua malam talang (menginap di talang). Talang adalah perladangan di tengah hutan dengan beberapa keluarga. Berjalan kaki sejauh 5 atau 6 km, membuat aku dan adikku sangat capek. Untuk itu, kami sering beristirahat sekedar mengambil tenaga.

Tempat istirahat paling paporit adalah di bawah pendakian talago (Pendakian telaga). Disebut Pendakian Talago, mungkin karena sepanjang tahun, baik dimusim kemarau apa lagi musim hujan. Pendakian yang cukup terjal dan panjang ini mengeluarkan rembesan air yang membasahi kerikil di jalan. Beberapa kilometer setelah Pendakian Talago, terdapat hamparan kebun karet rakyat. Pendakian Talago menjadi saksi bisu, betapa getirnya kehidupan masyarakat penyadap karet di kawasan itu.

Di bawah Pendakian Talago, tepatnya tempat kami duduk-duduk di tepian sungai kecil. Mengalirkan airnya yang bening, sebening air mata. Dengan pasirnya yang  putih seperti kapas. Oleh karenanya, di sebut Sungai Jonieh (sungai jernih).

Ku ingat, waktu itu, tepatnya hari Kamis. Para petani di talang pulang ke koto (kembali ke desa) dengan membawa hasil sadapan karet yang telah terkumpul selama satu atau dua pekan. Dari kejauahan kulihat sepasang suami istri menyeret sepeda unta yang sarat muatan bongkah getah, bersiap menuruni pendakian.

Dialah Mak Sansun. Dengan posisi, suaminya di depan, memegang kedua stang sepeda. Sementara, Mak Sansun sendiri bertugas menahan sepeda yang dipastikan remnya blong. Sebatang kayu, seukuran stik pramuka, yang bercabang di salah satu ujungnya, dikaitkan pada besi boncengan sepeda. Ujungnya yang lain ditarik Mak Sansun dari belakang. Seperti permainan tarik tambang. Bedanya, kayu penahan tersebut ditarik sembari dibiarkan maju pelan, sedikit-demi sedikit. Sistem mengerem yang unik tentunya.

Dengan hati-hati mereka menuruni pendakian. Sampai setengah penurunan yang semakin curam, basah dan licin. Tiba-tiba saja Mak Sansun melepaskan kayu penahan. Tentu saja, sekonyong-konyong suaminya bersama sepeda melaju pesat, kemudian tersandar di sebatang pohon kayu. Suara suami Mak Sansun terdengar menggelegar memaki istrinya. Dengan wajah ketakutan Mak Sansun berkomentar singkat. “Aku sudah tidak tahan”.
Orang-orang yang tengah beristirahat sembari bercakap-cakap, serempak diam seribu bahasa. Kecuali beberapa lelaki berdiri membantu suami Mak Sansun. Meletakkan sepedanya seperti semula. Entah karena kesal dan malu, atau keduanya, suami istri itu tidak beristirhat seperti yang lainnya. Mereka berlalu begitu saja. Selang beberapa saat, orang-orang dewasa yang ada di situ tertawa terbahak-bahak. Aku sangat heran. Apanya yang lucu?
Tahun berlalu musim berganti. Aku pun sudah dewasa, berkeluarga dan dikarunia 3 orang anak. Cuma saja, kehidupan mereka sangat kontradiktif dengan masa kecilku dulu. Urusan sekolah misalnya. Jauh-jauh hari, bahkan sebelum tahun ajaran baru. Aku sudah melihat-lihat sekolah mana kiranya yang pas untuk mereka. Dengan mengumpulkan berbagai impormasi lewat brosur. Berbagai keunggulan ditawarkan.
Ada sekolah islam plus, sekolah full day school, Sekolah Bertahap Internasional, dan entah apa lagi. Kadang aku malas membacanya secara teliti. Kecuali di bagian kolom yang ada angka-angka tercetak rapi. Ya. Itulah angka rupiah yang bernilai jutaan, biaya sekolah yang harus dibayar. Sebuah angka yang fantastis, setidaknya menurut kemampuan keuangan keluargaku.
Belum soal perlengkapan. Jauh-jauh hari mereka sibuk mendesak saya untuk berbelanja berbagai perlengkapan sekolah. Tas bermerek, buku tulis dalam hitungan lusin, dan banyak perlengkapan lain yang cukup panjang untuk ditulis satu persatu. Apa boleh buat. Demi menyongsong masa depan yang kian kompetitif. Sebuah alasan tanpa penawaran.
Walau peristiwa Mak Sansun di Pendakian Talago sudah berlalu lebih dari 30 tahun. Aku tetap mengenangnya sebagai pelajaran hidup yang berharga, Kadang, waktu adalah ruang yang tepat untuk menjawab sebuah pertanyaan.
Dalam kehidupan berumahtangga, sebagian kecil wanita, para istri, pun para suami ada yang berlaku seperti Mak Sansun. Melepaskan tanggungjawab disaat-saat yang genting. Ketika beban kehidupan kian menghimpit, ekonomi semakin seret. Tega meninggalkan pasangan begitu saja. Lalu dengan enteng memberi alasan, “Aku sudah tidak tahan”. Padahal, di masa hidup jaya, rezeki berlimpah, mereka begitu saling setia. Bahkan, kekurangan pasangan masing-masing bisa dimaklumi.
Aku juga mengambil pekerti dari orang-orang yang tertawa terbahak-bahak. Ternyata, adakalanya, kejadian buruk yang menimpa seseorang menjadi bahan tertawaan bagi yang lainnya. Pelajaran hidup berharga, yang tak pernah diajarkan di sekolah termahal di dunia sekalipun. (Asmanidar)

Read more...

KEMESRAAN

“Pernakah anda membayangkan tidur dengan David Beckham? Saya tidur dengannya hampir setiap malam”. Itulah pernyataan yang dilontarkan Victoria Beckham, dalam sebuah seminar para wanita beberapa waktu silam di Los Angles. Pada kesempatan yang dihadiri oleh ratusan ibu-ibu dan remaja putri itu, Victoria memaparkan dengan gamblang rahasia kemesraannya hidup bersama David Beckham, Bintang sepakbola dunia itu. Ia menjelaskan, bahwa rahasianya sangat sederhana. Yakni tidur dalam keadaan telanjang bulat. Wah...............!

Walau terkesan vulgar, agaknya masuk akal. Betapa tidak. Pria yang mengidap impotensi sekalipun mungkin akan sembuh, bila berkesempatan tidur dengan seorang super model sekelas Victoria Bekhcam. Dalam keadaan telanjang pula.

Tetapi, berdasarkan cerita teman-teman wanita tentang kesenangan pasangannya dalam hal bermesraan. Agaknya masing-masing individu memiliki rahasia kemesraan sendiri-sendiri. Ada teman yang mengatakan bahwa suaminya senang bila ia berpakaian saat tidur. Lalu memulai bercinta dengan melucuti sedikit demi sedikit pakaian di badan. Bila tidak ada rencana bermesraan, ia tidur dengan mengenakan pakaian tidur yang lengkap. Memakai handukpun hanya ia lakukan di kamar mandinya saja. Si teman ini, katanya justru ketelanjangan merupakan sesuatu yang amat tabu dan amat rahasia dalam dirinya. Makanya hanya terjadi bila-bila waktu yang amat khusus. Dan ini moment yang istimewa bagi suami.

Sedangkan, seorang lelaki—orang dekatku—mengaku, pernah secara tidak sengaja (ter-intip) seorang wanita (maaf) sedang buang air kecil di rumah teman yang kebetulan ada acara di situ. Sebuah rumah yang kamar mandinya tengah direnovasi, sehingga pintu kamar mandi tersebut belum terpasang utuh. Dari jarak beberpa meter ia terlanjur melirik sepasang kaki bagian atas yang putih dan mulus, katanya. Sontak, dadanya gemetar. Ia penasaran dan menunggu secara diam-diam siapa gerangan yang bakal keluar dari kamar mandi. Ternyata, justru istrinya yang muncul dari kamar mandi. Momen itu adalah peristiwa yang amat berkesan baginya dan selalu terbayang terutama saat bercinta dengan sang istri. Kemesraan adalah sesuatu yang sangat subjektif.  

Sekarang, mari kita keluar dari cerita yang rada-rada “hot” di atas. Melihat makna hakiki dari sepotong kata  “kemesraan”. Dalam istilah sehari-sehari “kemesraan” memang selalu dikaitkan dengan hubungan seksualitas. Tetapi, secara ilmiah, dari sudut etimilogi, “kemesraan” berasal dari kata “mesra” yang berarti lekat, sangat erat, perasaan dekat dan intim. Perasaan dekat dan intim (kemesraan) tidak bermakna apa-apa, tanpa didahului  sepotong kata lain, yakni “cinta”. Para lelaki hidung belang yang menggandeng wanita seksi, duduk merapat di sebuah kafe. Adalah contoh kemesraan yang tak bermakna, karena tidak didasari oleh cinta.

Dan, menurut Steven R. Covey saat paling tepat untuk mencintai pasangan adalah bila perasaan cinta mulai menipis, bahkan bila cinta sudah tak dirasakan lagi. Karena menurut Covey “cinta” bukanlah termasuk kata sifat seperti yang tertera di kamus. Melainkan kata kerja.

Secara umum—konon lelaki dan bahkan wanita—mampu memajukan sebuah perusahaan bisnis dan mendulang karir gemilang. Ironisnya, sangat sedikit dari mereka yang gigih berjuang mempertahankan cinta mesra dalam rumah tangga yang langgeng. Perasaan serta kadar cinta nan mesra  diserahkan kepada alam semata.Syukurlah. Sadar akan betapa banyaknya rumah tangga yang kandas akibat mengeringnya cinta dan kemesraan. Kini, banyak seminar-seminar, fieture-fieture yang membahas masalah tersebut termasuk tips-tips yang ditawarkan.

Dari berbagai teori, kunci utama menjalin suatu hubungan sesungguhnya adalah komunikasi. Komunikasi yang sehat menciptakan suasana yang nyaman. Aku pernah memperhatikan sebuah rumahtangga yang tak dapat menjalin komunikasi yang baik dengan pasangannya. Jangankan tidur gaya Victoria Beckham, tidur sekamarpun tidak. Alasannya, si Istri tidak bisa tidur dalam ruangan ber-AC, sementara suami sebaliknya. Akibatnya, suami tidur dengan anak lelaki di kamar, sementara istrinya tidur di ruang terpisah bersama anak yang lain. Yang lebih menyedihkan, bila ada acara piknik keluarga. Istri duduk di jok belakang, sementara suami menyetir mobil dan duduk di sampingnya anak laki-laki tadi.   

Masalah keuangan lebih parah, istri tak pernah tahu berapa penghasilan suami. Uang belanja diberi sesuai keingan suami, bukan berdasarkan kebutuhan rumahtangga. Suami membeli barang-barang apa saja tanpa pernah memberi tahu terlebih dulu pada istrinya. Alhasil, bertahun-tahun kehidupan keluarga ini tak pernah mengalami kemajuan yang signifikan. Padahal, mereka orang-orang terpelajar. Sang suami malah seorang tokoh politik. Baik suami maupun istri,  seakan berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan.

Pada prinsifnya, para wanita memandang cinta dan kemesraan lebih dari sekedar kata kerja. Lebih dari sekadar komunikasi yang intens. Cinta dan kemesraan adalah dedikasi dalam waktu yang lama, tuntutan yang tak bertepi sepanjang hayat. Walau tak jarang, pengabdian dalam bentuk pengorbanan sejati berakhir dengan kekecewaan yang mendalam.

Aku sendiri tak hendak mengumbar rahasia kemesraan di ranjang, dalam kesempatan manapun. Terkadang, suami menggantikan aku mengerjakan pekerjaan rutin. Menyapu, memberi makan binatang piaraan, tanpa merasa dilecehkan adalah bagian dari kemesraan yang datang dari hati. Sementara, aku sendiri bergabung dalam barisan kemacetan, lalu-lalang kendaraan yang berjalan lambat bak kura-kura adalah bagian dari situasi yang tak mungkin kurubah. Pagi yang sibuk, tugas rutin mengantar anak ke sekolah, bila dilakkukan dari hati sesungguhnya adalah bentuk kemesraan dalam harmonisasi cinta yang damai. (Asmanidar)

Read more...

SEHELAI SARUNG

Siang yang teduh. Suamiku datang untuk makan siang dan sholat zuhur. Tugasnya mengajar di salah satu Perguruan Tinggi dengan jadwal yang padat. Satu hari, full.  Walau cuma dua atau tiga hari sepekan, telah  membuatnya kadang sedikit lelah. Namun, membagi sedikit ilmu yang ada buat sesama, baginya merupakan sebuah misi.

Sembari mengucapkan salam di ambang pintu, ia mengulurkan sebuah bingkisan kepada ku. “Ada sarung dari fakultas, untuk mu saja”, ujarnya. Lalu, dengan ucapan terimakasih sekenanya, bingkisan itu sudah berada di tangan ku. Ku buka kotak sarung itu. Kain sarung maksudku. Tanpa sadar aku berucap: “Wah!” Warnanya bagus sekali. “Berarti ini untuk ku”.

Sadar akan ucapan ku sendiri, sejenak aku tertegun. Kalimat: “Berarti sarung ini untuk ku”, tentunya sebuah statement yang benar. Namun, sesungguhnya kuucapkan tanpa sadar. Ya,  sarung ini memang untukku. Sebab, orang pertama yang sering kuhadiahi sarung, kini telah tiada.

Sepanjang kehidupan rumah tanggaku yang mendekati dua puluh tahun. Seingat ku, aku tak pernah membeli sehelai sarungpun. Walau begitu, aku memiliki banyak sarung. Sarung-sarung tersebut merupakan pemberian kerabat handai taulan. Kadang hadiah ulang tahunku atau suami. Paling sering, sebagai bingkisan lebaran seperti sarung warna hitam motif garis kuning putih yang ada di hadapanku, saat ini.

Warna kegemaranku. Jadi, tak ada yang salah dengan ucapan, “berarti sarung ini untuk ku”. Sebab, kalau warnanya kurang pas buatku. Atau menurutku, jika memang cocok untuk orang tua, biasanya akan kuhadiahi pada ibu mertua ku. Tetapi kini, cocok atau tidak untukku, agaknya akan tetap untukku. Kecuali bila aku ingin menghadiahkan buat yang lain. Pengabdianku buat kedua mertua, sepenuhnya telah berakhir.

Sekonyong. Ada rasa sedih yang mencekat di ujung tenggorokanku. Aku ingat, ibu mertua yang menderita penyakit osteophorosis serta asam urat yang membuatnya mengalami retak tulang pinggul. Setidaknya, itulah vonis dokter. Yang pasti, ibu tidak bisa berdiri apalagi berjalan sejak tiga tahun terakhir.  Kami, sepuluh anak menantunya secara bergiliran merawatnya. Aku sendiri begitu banyak belajar dari pengalaman merawat ibu mertuaku ini. Terutama belajar tentang arti cinta. Ikhlas dan kesabaran.

Namun, bila ada orang yang paling  bersalah atas kepergian ibu, tentulah aku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, ketika beberapa orang anaknya datang menjemput untuk kembali ke kampung halamannya dan menetap di sana. Walau sempat kubisikkan di telinganya bahwa aku dan suami akan menjemputnya kembali menjelang Ramadan ini. Aku memang datang padanya menjelang Ramadan, tetapi bukan untuk menjemputnya, melainkan tujuan utama untuk sebuah pekerjaan lain. Agaknya, pekerjaan mengejar karir menjadi alasan utama bagiku untuk menyerahkan perawatan ibu pada anak dan menantunya yang lain.

Padahal. Aku merasa ibu senang tinggal bersama ku. Aku rajin mendengar ceritanya tentang masa silam. Sampai aku hapal beberapa nama teman ibu sesama sekolah di Taman Siswa Batangtoru, sekitar tahun 40-an. Di antaranya Pak Sujud, Dokter Awal, Pak Zulkifli dan banyak lagi yang tak satupun ku kenal. Tentang ayahnya yang berambut keriting dan berkacamata, adalah bagian masa kecilnya yang bahagia. Aku juga rajin memberinya hadian. Ya, berupa sarung, buku bacaan, atau kaset dan VCD lagu-lagu El-Syuraya, lagu dangdut dari Megi Z dsb.

Jangan salah. Walau ibu sudah 74 tahun. Dia rajin belajar. Sering bertanya padaku tentang beberpa istilah modern kini. Misalnya, kata “nepotisme, waralaba, suku cadang”, dan istilah-istilah lain yang acap didengarnya di televise.

Aku percaya bahwa ajal sepenuhnya ada di tangan Allah. Dan, tugas para perawat, dokter sekalipun, bukan untuk menunda kematian. Melainkan menjadikan hidup lebih berkualitas, dengan cara memberi rasa nyaman dan bahagia bagi para pasiennya.

Aku beranjak dari lamunan dan berjalan ke kamar, menyimpan bingkisan sarung pada lipatan sarung-sarung lain yang sudah ada di lemari. Ku tutup pintu lemari dengan memutar kuncinya. Walau makam ibu sudah ditutup tumpukan tanah 40 hari tepatnya hari ini. Hati ku akan selalu terbuka untuknya. Aku mulai mengikuti kebiasaannya membaca Alqur’an setiap usai sholat. Senyumnya yang mengembang akan tetap hadir di pelupuk mataku. Selamanya!

Aku harus sadar, bahwa karir ku yang utama adalah merawat anak dan cucunya. Biarlah karir Advokat-ku mengalir perlahan. Biasa saja. Mungkin sudah demikian adanya. Toh, seperti pepatah: “Tak mungkin menangkap dua ekor kelinci sekaligus dalam sekali perburuan”. Dan mungkin sudah demikian kodratnya. Bahwa hidup ini ibarat bersembunyi di sehelai sarung. Ditarik keatas tampak kaki, ditarik ke bawah tampak kepala.   (Asmanidar)

Read more...

  KEBAHAGIAAN
“Kebahagian” berasal dari kata “bahagia” yang berarti perasaan senang, jauh dari hal-hal yang menyusahkan. Kata ini demikian populer, dan secara umum orang memiliki tujuan hidup untuk meraih kebahagian. Sesungguhnya, setiap orang memiliki penafsiran serta ukuran sendiri-sendiri tentang makna kebahagian, demikian juga cara mencapainya. Kebahagian amat tergantung dari sudut mana seseorang memandang. 
     Para pakar menyebutkan kebahgian bersumber dari dalam diri setiap orang. Namun, keadaan di luar diri kita tidak dapat dipungkiri, sebagai sesuatu yang berpengaruh besar terhadap pencapain kebahagian. Usaha pemenuhan kebutuhan yang bersifat material kadang begitu menghimpit. Kita, terutama yang hidup di kota-kota besar, pun merambah ke sebagian warga pedesaan acapkali menggantungkan kebahagian pada keadaan di luar diri kita. Kepada hal-hal yang bersifat kebendaan/materi, bahkan kepada sesuatu yang masih sebatas rencana dan harpan, hingga mengabaikan apa yang diraih hari ini.
      Ada banyak orang yang begitu khawatir tentang masa depan  dirinya dan anak-anaknya. Seorang pegawai yang bergaji besar sangat khawatir akan masa pensiunnya, kelak. Hingga ia merasa perlu mempersiapkan diri sedini mungkin dengan menginvestasikan pendapatannya. Membeli  berbagai asset dalam bentuk properti, tanah, rumah, kebun sawit dan dalam bentuk lainnya dengan iming-iming keuntungan yang berlipat ganda. Ia lupa, bahwa setiap harta ialah liabilitas yang membutuhkan biaya perawatan dan pemeliharaan. Hingga akhirnya kehabisan uang dan keteteran membayar tagihan-tagihan bulanan. Alhasil, ia menjadi gelisah, cemberut dan murung. Bila kondisi ini berlarut-larut, kebahagian menjadi sepotong kata yang demikian absurd. 
     Berbeda dengan kisah keluarga kecil berikut ini. Kisah ini terungkap dalam tugas saya menjalankan misi, yang acap berkunjung ke desa tempat saya dilahirkan. Suatu senja, saya duduk-duduk di teras rumah tua milik keluarga sembari menunggu azan magrib. Sebuah sepeda motor terparkir di sudut halaman rumah. Sang pemilik; Rus, demikian ia akrab disapa, tengah sibuk menggosok-gosok kendaraannya dengan selembar kain lap. 
Tampaknya, Rus bukan menggosok motornya untuk dibersihkan sebab sebelumnya sudah bersih, tapi lebih tepatnya mengelus. Ya, sang Pemilik sangat bangga memiliki kendaraannya, ini terlihat dari kondisi motor tersebut yang masih mengkilap dalam usia kepemilikikannya yang sudah hampir empat tahun. Masih seperti baru keluar dari toko. Betapa tidak, kendaraan itu ternyata lebih sering terfarkir di rumahnya ketimbang dipakai. Rus, lebih sering berjalan kaki, terutama di musim hujan sebab jalan desa menjadi becek dan tentunya mengotori kendaraan yang lalu-lalang. Rus, dan keluarga kecilnya sering bertandang ke rumah kami, kebetulan ia teman baik adik lelaki saya. 
     Rus, pria berusia sekitar 30 tahun ini secara konsisten menjalankan profesinya sebagai pengetam kayu menggunakan peralatan manual, pekerjaan kasar tentunya. Mungkin itu sebab badannya kelihatan kekar dan lengannya legam berotot. Tanpa membuang waktu melakukan pitnes atau olah raga lainnya. Ia tidak pernah khawatir tentang kelebihan berat badan serta penyakit  kolesterol yang menyertainya. Pekerjaan yang ia lakoni hampir setiap hari itu lebih ampuh membakar lemak dan membentuk otot ketimbang olah raga jenis apapun. Bahkan di malam hari terkadang Rus masih harus bekerja menjadi tukang pijit para pria yang juga pekerja kasar di kampung. Itu semua ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, plus membayar angsuran sepeda motor kesayangannya.
     Sedang sang istri; Iyut, wanita muda berkulit gelap aktif bekerja sebagai penyadap karet di kebun warga lain dengan sistem bagi hasil. Di musim kemarau Iyut dan putri bungsunya jarang terlihat. Ia membawa serta balitanya memanfaatkan musim kemarau seefektif mungkin. Syukur-syukur bisa menyimpan sedikit uang sebagai cadangan bila musim hujan tiba. Banyak petani penyadap karet di daerah itu terancam kelaparan di musim hujan. Inilah resiko pekerjaan yang tergantung dari keadaan alam semata. 
     Iyut dan putrinya tersebut,  teman saya bercakap-cakap di sore itu. Seperti suaminya, Iyut juga sangat bahagia sebagai seorang wanita dan seorang istri serta ibu dari kedua anak-anak mereka. Kata Iyut, kadang orang bertanya kepadanya. “Anak siapa yang kau asuh itu?”. Pertanyaan ini muncul karena anaknya berkulit lebih terang dari dirinya hingga orang meragukan tentang keberadaan mereka sebagai ibu dan anak. Benar atau tidak cerita Iyut tentang ungkapan pertanyaan itu, yang pasti itu adalah salah satu caranya mengungkapkan kebanggaan atas putrinya yang memang berkulit lebih terang dari dirinya sendiri. 
     Kunjungan mereka sore itu sebenarnya lebih dari sekadar bertamu. Suami- istri ini, meminta semacam rekomendasi lisan dari saya. Agar putri mereka dapat diterima di Taman Kanak-Kanak (TK) Bakti Ibu, TK yang saya bangun bersama beberapa orang kerabat. Sebab beredar kabar bahwa setiap anak yang mendaftar sebagai siswa di TK Bakti Ibu, satu-satunya TK di desa itu, harus membawa akte lahir sebagai salah satu syarat. Sementara putri mereka tidak memilikinya. 
     Cerita punya cerita terungkap bahwa keluarga ini ternyata tidak memiliki identitas tertulis dalam bentuk apapun, baik kartu keluarga, surat nikah, serta kartu tanda penduduk (KTP) sekalipun. Bahkan, sepeda motor yang mereka beli dengan sistem kredit dibuat atas nama orang lain, atas dasar kepercayaan. Demikian juga STNK-nya. Apakah mereka bisa tulis baca atau tidak itu yang tidak terungkap, karena saya agak segan mempertanyakannya.
     Saya makin mengenal mereka dari perbincangan di sore itu. Cara mereka meraih kebahagian begitu sederhana. Menggantungkan kehidupan pada tenaga fisik serta kemurahan alam, bahagia atas apa yang dimiliki, menaruh kepercayaan kepada orang lain. Sedang hal-hal di luar itu seperti secarik identitas formal, agaknya kurang berpengaruh. (ASMANIDAR)

Read more...

LBH KERAKYATAN © Layout By Hugo Meira.

TOPO