Total Tayangan Halaman

Sabtu, 12 November 2011

  KEBAHAGIAAN
“Kebahagian” berasal dari kata “bahagia” yang berarti perasaan senang, jauh dari hal-hal yang menyusahkan. Kata ini demikian populer, dan secara umum orang memiliki tujuan hidup untuk meraih kebahagian. Sesungguhnya, setiap orang memiliki penafsiran serta ukuran sendiri-sendiri tentang makna kebahagian, demikian juga cara mencapainya. Kebahagian amat tergantung dari sudut mana seseorang memandang. 
     Para pakar menyebutkan kebahgian bersumber dari dalam diri setiap orang. Namun, keadaan di luar diri kita tidak dapat dipungkiri, sebagai sesuatu yang berpengaruh besar terhadap pencapain kebahagian. Usaha pemenuhan kebutuhan yang bersifat material kadang begitu menghimpit. Kita, terutama yang hidup di kota-kota besar, pun merambah ke sebagian warga pedesaan acapkali menggantungkan kebahagian pada keadaan di luar diri kita. Kepada hal-hal yang bersifat kebendaan/materi, bahkan kepada sesuatu yang masih sebatas rencana dan harpan, hingga mengabaikan apa yang diraih hari ini.
      Ada banyak orang yang begitu khawatir tentang masa depan  dirinya dan anak-anaknya. Seorang pegawai yang bergaji besar sangat khawatir akan masa pensiunnya, kelak. Hingga ia merasa perlu mempersiapkan diri sedini mungkin dengan menginvestasikan pendapatannya. Membeli  berbagai asset dalam bentuk properti, tanah, rumah, kebun sawit dan dalam bentuk lainnya dengan iming-iming keuntungan yang berlipat ganda. Ia lupa, bahwa setiap harta ialah liabilitas yang membutuhkan biaya perawatan dan pemeliharaan. Hingga akhirnya kehabisan uang dan keteteran membayar tagihan-tagihan bulanan. Alhasil, ia menjadi gelisah, cemberut dan murung. Bila kondisi ini berlarut-larut, kebahagian menjadi sepotong kata yang demikian absurd. 
     Berbeda dengan kisah keluarga kecil berikut ini. Kisah ini terungkap dalam tugas saya menjalankan misi, yang acap berkunjung ke desa tempat saya dilahirkan. Suatu senja, saya duduk-duduk di teras rumah tua milik keluarga sembari menunggu azan magrib. Sebuah sepeda motor terparkir di sudut halaman rumah. Sang pemilik; Rus, demikian ia akrab disapa, tengah sibuk menggosok-gosok kendaraannya dengan selembar kain lap. 
Tampaknya, Rus bukan menggosok motornya untuk dibersihkan sebab sebelumnya sudah bersih, tapi lebih tepatnya mengelus. Ya, sang Pemilik sangat bangga memiliki kendaraannya, ini terlihat dari kondisi motor tersebut yang masih mengkilap dalam usia kepemilikikannya yang sudah hampir empat tahun. Masih seperti baru keluar dari toko. Betapa tidak, kendaraan itu ternyata lebih sering terfarkir di rumahnya ketimbang dipakai. Rus, lebih sering berjalan kaki, terutama di musim hujan sebab jalan desa menjadi becek dan tentunya mengotori kendaraan yang lalu-lalang. Rus, dan keluarga kecilnya sering bertandang ke rumah kami, kebetulan ia teman baik adik lelaki saya. 
     Rus, pria berusia sekitar 30 tahun ini secara konsisten menjalankan profesinya sebagai pengetam kayu menggunakan peralatan manual, pekerjaan kasar tentunya. Mungkin itu sebab badannya kelihatan kekar dan lengannya legam berotot. Tanpa membuang waktu melakukan pitnes atau olah raga lainnya. Ia tidak pernah khawatir tentang kelebihan berat badan serta penyakit  kolesterol yang menyertainya. Pekerjaan yang ia lakoni hampir setiap hari itu lebih ampuh membakar lemak dan membentuk otot ketimbang olah raga jenis apapun. Bahkan di malam hari terkadang Rus masih harus bekerja menjadi tukang pijit para pria yang juga pekerja kasar di kampung. Itu semua ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, plus membayar angsuran sepeda motor kesayangannya.
     Sedang sang istri; Iyut, wanita muda berkulit gelap aktif bekerja sebagai penyadap karet di kebun warga lain dengan sistem bagi hasil. Di musim kemarau Iyut dan putri bungsunya jarang terlihat. Ia membawa serta balitanya memanfaatkan musim kemarau seefektif mungkin. Syukur-syukur bisa menyimpan sedikit uang sebagai cadangan bila musim hujan tiba. Banyak petani penyadap karet di daerah itu terancam kelaparan di musim hujan. Inilah resiko pekerjaan yang tergantung dari keadaan alam semata. 
     Iyut dan putrinya tersebut,  teman saya bercakap-cakap di sore itu. Seperti suaminya, Iyut juga sangat bahagia sebagai seorang wanita dan seorang istri serta ibu dari kedua anak-anak mereka. Kata Iyut, kadang orang bertanya kepadanya. “Anak siapa yang kau asuh itu?”. Pertanyaan ini muncul karena anaknya berkulit lebih terang dari dirinya hingga orang meragukan tentang keberadaan mereka sebagai ibu dan anak. Benar atau tidak cerita Iyut tentang ungkapan pertanyaan itu, yang pasti itu adalah salah satu caranya mengungkapkan kebanggaan atas putrinya yang memang berkulit lebih terang dari dirinya sendiri. 
     Kunjungan mereka sore itu sebenarnya lebih dari sekadar bertamu. Suami- istri ini, meminta semacam rekomendasi lisan dari saya. Agar putri mereka dapat diterima di Taman Kanak-Kanak (TK) Bakti Ibu, TK yang saya bangun bersama beberapa orang kerabat. Sebab beredar kabar bahwa setiap anak yang mendaftar sebagai siswa di TK Bakti Ibu, satu-satunya TK di desa itu, harus membawa akte lahir sebagai salah satu syarat. Sementara putri mereka tidak memilikinya. 
     Cerita punya cerita terungkap bahwa keluarga ini ternyata tidak memiliki identitas tertulis dalam bentuk apapun, baik kartu keluarga, surat nikah, serta kartu tanda penduduk (KTP) sekalipun. Bahkan, sepeda motor yang mereka beli dengan sistem kredit dibuat atas nama orang lain, atas dasar kepercayaan. Demikian juga STNK-nya. Apakah mereka bisa tulis baca atau tidak itu yang tidak terungkap, karena saya agak segan mempertanyakannya.
     Saya makin mengenal mereka dari perbincangan di sore itu. Cara mereka meraih kebahagian begitu sederhana. Menggantungkan kehidupan pada tenaga fisik serta kemurahan alam, bahagia atas apa yang dimiliki, menaruh kepercayaan kepada orang lain. Sedang hal-hal di luar itu seperti secarik identitas formal, agaknya kurang berpengaruh. (ASMANIDAR)

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

LBH KERAKYATAN © Layout By Hugo Meira.

TOPO