MENGUJI KEPEDULIAN
Sepenggal dialog dalam adegan lawakan di televise tentang seorang pengemis dan seorang wanita. Si wanita parlente, berdiri di pinggir jalan. Menunggu taksi. Tiba-tiba seorang pengemis menghampirinya, sembari mengulurkna tangan: “Sedekah Mbak, saya belum makan!” katanya, memelas. “Sama, saya juga belum makan,” jawab si Wanita, enteng, tanpa melirik si pengemis.
Adegan lawakan memang bertujuan mengundang tawa. Saya pun tertawa. Sepintas, respon si Wanita itu, sangat tepat, tapi konyol: sama-sama belum makan. Dua kalimat serupa tetapi memiliki makna berbeda. Pengemis belum makan, mungkin karena tidak punya uang membeli makanan. Alias tidak ada yang mau dimakan. Sedangkan si Wanita belum makan, karena mungkin belum waktunya makan. Masih kenyang, atau sedang diet.
Kejadian seperti ini, acap kali ditemui dalam kehidupan nyata. Karena sesungguhnya hasil karya sastra, film, drama, musik, dll., diangkat dari phenomena masyarakatnya. Sering, seseorang bercerita tentang persoalan hidup yang dihadapi, justru lawan bicara bukannya mengungkapkan rasa simpati, apa lagi menawarkan bantuan. Malah sebalikanya. Mengeluh tentang persoalan yang menimpa dirinya pula. Persoalan yang sama tetapi memiliki karakteristik yang jauh berbeda. Barangkali, ini salah satu bentuk egoisme manusia. Atau mungkin juga upaya menghindari member pertolongan, walau sekedar ungkapan rasa simpati.
Kebanyakan dari kita, termasuk saya, mungkin juga Anda, sering beranggapan: “Tidak dapat membantu orang lain karena kita sendiri juga perlu dibantu”. Logikanya, barangkali memang demikian. Bagaimana membantu orang lain, sementara kita sendiri susah? Ketiadaan selalu menjadi alas an untuk menghilangkan kewajiban membantu sesama. Padahal, sejatinya setiap orang mesti memiliki rasa kepedulian yang lahir dari keyakinan akan adanya Tuhan, yang melihat setiap aktivitas hambaNya.
Sebuah kisah di zaman Rasulullah bertutur: Abu Hasan atau Ali bin Abi Thalib menantu Rasulullah, dikenal sebagai seorang sahabat Rasulullah yang dermawan. Abu Hasan pernah memberikan seluruh uang yang dimilikinya, sejumlah enam dirham kepada seorang pengemis. Uang tersbeut sedianya, untuk membeli makanan bagi kedua putranya: Hasan dan Husin. Alhasil, Abu Hasan pulang dengan tangan kosong. Ia menjelaskan kepada istrinya Fatimah Az-Zahra bahwa uang untuk membeli makanan telah ia “pinjamkan kepada Allah”, (orang yang memberikan uangnya kepada pengemis sama dengan memberi pinjaman kepada Allah- al Hadist).
Selanjutnya, pada hari yang sama Abu Hasan didatangi seorang Arab Badawi bermaksud menjual seekor unta kepada Abu Hasan seharga seratus dirham. Harga yang sangat murah kala itu. Dan hebatnya anak paman Rasulullah tersebut boleh membayarnya, kalau sudah punya uang. Selang beberapa waktu, datang lagi seorang Arab Badawi yang lain, menawar unta Abu Hasan seharga tiga ratus dirham. Tuhan telah memberi rezeki pada Abu Hasan sejumlah dua ratus dirham.
Atas dasar kepedulian, tanpa mengedepankan imbalan berupa mukjizat bagai kisah Ali bin Abi Thalib di atas, suatu sore yang mendung, gerimis dan dingin. Mewakili perasaan yang sedikit gundah, saya duduk sendirian di kursi tamu, dengan kedua kaki selonjor di atas meja. Secangkir kopi jahe agaknya cukup menghangatkan badan.
Tiba-tiba, seorang lelaki setengah baya muncul di ambang pintu sembari memberi salam. Lelaki dengan postur relative kecil, tinggi sekitar 125 cm adalah Pak Ramli. Seperti biasa ia lebih dulu tersenyum menyapa saya. Keluarga kami sudah cukup lama mengenali Pak Ramli. Kira-kira sejak menetap di perumahan ini belasan tahun silam. Tugasnya sebgai pemungut uang sumbangan kepada para donator panti asuhan yang berlokasi tak jauh dari komplek perumahan, membuat Pak Ramli menjadi pengunjung setia rumah kami. Setiap awal bulan minggu pertama, biasanya Pak Ramli selalu datang. Cuma kali ini, saya agak terperangah. Saat ini saya belum punya uang untuk mendonasi. Walau keluarga kami tercatat sebagai donator tetap bagi panti asuhan tempat Pak Ramli mengabdi, bukan berarti kami selalu punya uang buat donasi. Lagi pula bukankah beberapa waktu yang lalu Pak Ramli sudah datang dan rasanya, saya sudah membayar untuk bulan ini? Saya lalu beranjak menghampirinya. Sebelum sempat bertanya, Pak Ramli lebih dulu menjelaskan kedatangannya kali ini, untuk maksud lain.
Sejenak dia terdiam. “Katakan saja Pak, apa yang dapat saya bantu,’ saya desak dia. “Anak saya Bu, besok terima rapor, tetapi sebelumnya saya harus melunasi iuran sekolah yang menunggak, total sejumlah Rp 150.000,-. Saya tidak punya uang, barangkali Ibu bisa membantu saya. Insya Allah bulan depan saya bayar,” ungkapnya dalam logat minang yang kental.
Uang sekolah, waahh…, lagi-lagi uang sekolah. Saya sendiri, siang tadi baru saja melakukan pekerjaan yang agak berat secara psikologis. Mendatangi Kepala Sekolah dan meminta kebijakan darinya agar anak saya tetap dapat terima rapor. Kendati belum bayar uang sekolah dengan jumlah sepuluh kali lipat dari yang diperlukan Pak Ramli buat rapor anaknya. Tentu saja, saya tidak menceritakan masalah ini kepada Pak Ramli. Sedapat mungkin saya menghindari sikap seperti adegan lawakan dalam kisah di atas. Saya lantas mengambil uang di dompet sejumlah yang dibutuhkan Pak Ramli. Untuk Rp 150.000,- agaknya masih ada. Soal belanja besok, Tuhan pasti menurunkan rezekinya, insya Allah.
Persoalan yang sama tetapi tak serupa. Tanpa maksud menyombongkan diri, saya termasuk orang yang terpelajar setidaknya dibanding Pak Ramli. Saya punya kuasa untuk menghadap Kepala Sekolah dan berhasil. Saya kira memang sudah sepantasnya demikian. Menyangkut kebijakan sekolah, haruslah ada toleransi. Pendidikan, termasuk program pemerintah yang prioritas. Bahkan, masalah pendidikan sudah menjadi isu komoditas bagi sejumlah tokoh politik untuk meraih simpati rakyat. Mulai dari tawaran sekolah taraf internasional, sekolah murah bahkan pendidikan gratis, menjadi slogan kampanye dimana-mana. Jadi ironis sekali, bila ada sekolah yang “menyandera” rapor muridnya dengan alas an belum bayar uang sekolah.
Tetapi, bagi Pak Ramli, seorang pria sederhana, tidak fasih berbahasa Indonesia, persoalan ini menjadi teramat sulit. Sampai ia sulit tidur menurut penuturannya. Rasanya, kurang etis pula saya mengajari Pak Ramli dengan cara yang saya tempuh dalam memperjuang rapor anak saya. Kalaupun saya jelaskan, kemungkinan berhasil sangat kecil. Sebab, berdasarkan pengamatan, orang kecil dengan tubuh yang kecil sulit mendapatkan tempat di manapun, terutama bila berurusan dengan birokrasi di negeri ini. Saya hanya bisa memberi sebatas yang dapat ia terima. Sebatas menguji rasa kepedulian….
Adegan lawakan memang bertujuan mengundang tawa. Saya pun tertawa. Sepintas, respon si Wanita itu, sangat tepat, tapi konyol: sama-sama belum makan. Dua kalimat serupa tetapi memiliki makna berbeda. Pengemis belum makan, mungkin karena tidak punya uang membeli makanan. Alias tidak ada yang mau dimakan. Sedangkan si Wanita belum makan, karena mungkin belum waktunya makan. Masih kenyang, atau sedang diet.
Kejadian seperti ini, acap kali ditemui dalam kehidupan nyata. Karena sesungguhnya hasil karya sastra, film, drama, musik, dll., diangkat dari phenomena masyarakatnya. Sering, seseorang bercerita tentang persoalan hidup yang dihadapi, justru lawan bicara bukannya mengungkapkan rasa simpati, apa lagi menawarkan bantuan. Malah sebalikanya. Mengeluh tentang persoalan yang menimpa dirinya pula. Persoalan yang sama tetapi memiliki karakteristik yang jauh berbeda. Barangkali, ini salah satu bentuk egoisme manusia. Atau mungkin juga upaya menghindari member pertolongan, walau sekedar ungkapan rasa simpati.
Kebanyakan dari kita, termasuk saya, mungkin juga Anda, sering beranggapan: “Tidak dapat membantu orang lain karena kita sendiri juga perlu dibantu”. Logikanya, barangkali memang demikian. Bagaimana membantu orang lain, sementara kita sendiri susah? Ketiadaan selalu menjadi alas an untuk menghilangkan kewajiban membantu sesama. Padahal, sejatinya setiap orang mesti memiliki rasa kepedulian yang lahir dari keyakinan akan adanya Tuhan, yang melihat setiap aktivitas hambaNya.
Sebuah kisah di zaman Rasulullah bertutur: Abu Hasan atau Ali bin Abi Thalib menantu Rasulullah, dikenal sebagai seorang sahabat Rasulullah yang dermawan. Abu Hasan pernah memberikan seluruh uang yang dimilikinya, sejumlah enam dirham kepada seorang pengemis. Uang tersbeut sedianya, untuk membeli makanan bagi kedua putranya: Hasan dan Husin. Alhasil, Abu Hasan pulang dengan tangan kosong. Ia menjelaskan kepada istrinya Fatimah Az-Zahra bahwa uang untuk membeli makanan telah ia “pinjamkan kepada Allah”, (orang yang memberikan uangnya kepada pengemis sama dengan memberi pinjaman kepada Allah- al Hadist).
Selanjutnya, pada hari yang sama Abu Hasan didatangi seorang Arab Badawi bermaksud menjual seekor unta kepada Abu Hasan seharga seratus dirham. Harga yang sangat murah kala itu. Dan hebatnya anak paman Rasulullah tersebut boleh membayarnya, kalau sudah punya uang. Selang beberapa waktu, datang lagi seorang Arab Badawi yang lain, menawar unta Abu Hasan seharga tiga ratus dirham. Tuhan telah memberi rezeki pada Abu Hasan sejumlah dua ratus dirham.
Atas dasar kepedulian, tanpa mengedepankan imbalan berupa mukjizat bagai kisah Ali bin Abi Thalib di atas, suatu sore yang mendung, gerimis dan dingin. Mewakili perasaan yang sedikit gundah, saya duduk sendirian di kursi tamu, dengan kedua kaki selonjor di atas meja. Secangkir kopi jahe agaknya cukup menghangatkan badan.
Tiba-tiba, seorang lelaki setengah baya muncul di ambang pintu sembari memberi salam. Lelaki dengan postur relative kecil, tinggi sekitar 125 cm adalah Pak Ramli. Seperti biasa ia lebih dulu tersenyum menyapa saya. Keluarga kami sudah cukup lama mengenali Pak Ramli. Kira-kira sejak menetap di perumahan ini belasan tahun silam. Tugasnya sebgai pemungut uang sumbangan kepada para donator panti asuhan yang berlokasi tak jauh dari komplek perumahan, membuat Pak Ramli menjadi pengunjung setia rumah kami. Setiap awal bulan minggu pertama, biasanya Pak Ramli selalu datang. Cuma kali ini, saya agak terperangah. Saat ini saya belum punya uang untuk mendonasi. Walau keluarga kami tercatat sebagai donator tetap bagi panti asuhan tempat Pak Ramli mengabdi, bukan berarti kami selalu punya uang buat donasi. Lagi pula bukankah beberapa waktu yang lalu Pak Ramli sudah datang dan rasanya, saya sudah membayar untuk bulan ini? Saya lalu beranjak menghampirinya. Sebelum sempat bertanya, Pak Ramli lebih dulu menjelaskan kedatangannya kali ini, untuk maksud lain.
Sejenak dia terdiam. “Katakan saja Pak, apa yang dapat saya bantu,’ saya desak dia. “Anak saya Bu, besok terima rapor, tetapi sebelumnya saya harus melunasi iuran sekolah yang menunggak, total sejumlah Rp 150.000,-. Saya tidak punya uang, barangkali Ibu bisa membantu saya. Insya Allah bulan depan saya bayar,” ungkapnya dalam logat minang yang kental.
Uang sekolah, waahh…, lagi-lagi uang sekolah. Saya sendiri, siang tadi baru saja melakukan pekerjaan yang agak berat secara psikologis. Mendatangi Kepala Sekolah dan meminta kebijakan darinya agar anak saya tetap dapat terima rapor. Kendati belum bayar uang sekolah dengan jumlah sepuluh kali lipat dari yang diperlukan Pak Ramli buat rapor anaknya. Tentu saja, saya tidak menceritakan masalah ini kepada Pak Ramli. Sedapat mungkin saya menghindari sikap seperti adegan lawakan dalam kisah di atas. Saya lantas mengambil uang di dompet sejumlah yang dibutuhkan Pak Ramli. Untuk Rp 150.000,- agaknya masih ada. Soal belanja besok, Tuhan pasti menurunkan rezekinya, insya Allah.
Persoalan yang sama tetapi tak serupa. Tanpa maksud menyombongkan diri, saya termasuk orang yang terpelajar setidaknya dibanding Pak Ramli. Saya punya kuasa untuk menghadap Kepala Sekolah dan berhasil. Saya kira memang sudah sepantasnya demikian. Menyangkut kebijakan sekolah, haruslah ada toleransi. Pendidikan, termasuk program pemerintah yang prioritas. Bahkan, masalah pendidikan sudah menjadi isu komoditas bagi sejumlah tokoh politik untuk meraih simpati rakyat. Mulai dari tawaran sekolah taraf internasional, sekolah murah bahkan pendidikan gratis, menjadi slogan kampanye dimana-mana. Jadi ironis sekali, bila ada sekolah yang “menyandera” rapor muridnya dengan alas an belum bayar uang sekolah.
Tetapi, bagi Pak Ramli, seorang pria sederhana, tidak fasih berbahasa Indonesia, persoalan ini menjadi teramat sulit. Sampai ia sulit tidur menurut penuturannya. Rasanya, kurang etis pula saya mengajari Pak Ramli dengan cara yang saya tempuh dalam memperjuang rapor anak saya. Kalaupun saya jelaskan, kemungkinan berhasil sangat kecil. Sebab, berdasarkan pengamatan, orang kecil dengan tubuh yang kecil sulit mendapatkan tempat di manapun, terutama bila berurusan dengan birokrasi di negeri ini. Saya hanya bisa memberi sebatas yang dapat ia terima. Sebatas menguji rasa kepedulian….
Seja o primeiro a comentar
Posting Komentar