MAK SANSUN
Masa itu, menjelang tahun ajaran baru. Rencananya tahun ini aku masuk Sekolah Dasar. Hari-hariku diliputi perasaan aneh. Aku sendiri tak paham. Ada rasa senang, rasa takut, kalau-kalau aku tak sepenuhnya mengerti apa yang diajarkan guru nantinya. Mungkin aku akan dihukum. Berdiri di depan kelas dengan sebelah kaki, sementara kedua tangan memegang daun telinga. Setidaknya hukuman demikian kudengar dari kakakku yang sudah bersekolah.
Tapi tidak. Aku bertekad, sejak awal-awal sekolah aku akan belajar giat. Sehingga nilai harian maupun ulanganku memperoleh hasil maksimal. Ya, angka sepuluh, atau paling rendah delapanlah. Demikian tekadku.
Sebenarnya, bukan itu yang membuatku gelisah. Tetapi masalah lain. Bayangkan, tanggal masuk sekolah kian dekat, tetapi tak satupun perlengkapan sekolahku yang telah dipersiapkan. Bahkan aku belum didaftar. Berkali-kali aku merengek pada ayah, agar dibelikan buku serta peralatan sekolah yang lain. Tetapi ayah dengan enteng menjawab, “boro-boro beli buku sekarang, sekolah saja belum”.
Akhirnya, beberapa hari menjelang masuk sekolah, ayah membelikanku selembar buku tulis isi 40, sebatang pensil, dan sebilah penggaris kayu. Benda-benda “istimewa” ini dimasukkan ke dalam plastik kresek. Itulah “modal” pertamaku menginjakkan kaki di bangku sekolah. Sementara, baju seragam, sepatu dan tas menyusul beberapa bulan kemudian secara bertahap.
Karena belum bersekolah, aku selalu diajak kedua orang tua malam talang (menginap di talang). Talang adalah perladangan di tengah hutan dengan beberapa keluarga. Berjalan kaki sejauh 5 atau 6 km, membuat aku dan adikku sangat capek. Untuk itu, kami sering beristirahat sekedar mengambil tenaga.
Tempat istirahat paling paporit adalah di bawah pendakian talago (Pendakian telaga). Disebut Pendakian Talago, mungkin karena sepanjang tahun, baik dimusim kemarau apa lagi musim hujan. Pendakian yang cukup terjal dan panjang ini mengeluarkan rembesan air yang membasahi kerikil di jalan. Beberapa kilometer setelah Pendakian Talago, terdapat hamparan kebun karet rakyat. Pendakian Talago menjadi saksi bisu, betapa getirnya kehidupan masyarakat penyadap karet di kawasan itu.
Di bawah Pendakian Talago, tepatnya tempat kami duduk-duduk di tepian sungai kecil. Mengalirkan airnya yang bening, sebening air mata. Dengan pasirnya yang putih seperti kapas. Oleh karenanya, di sebut Sungai Jonieh (sungai jernih).
Ku ingat, waktu itu, tepatnya hari Kamis. Para petani di talang pulang ke koto (kembali ke desa) dengan membawa hasil sadapan karet yang telah terkumpul selama satu atau dua pekan. Dari kejauahan kulihat sepasang suami istri menyeret sepeda unta yang sarat muatan bongkah getah, bersiap menuruni pendakian.
Dialah Mak Sansun. Dengan posisi, suaminya di depan, memegang kedua stang sepeda. Sementara, Mak Sansun sendiri bertugas menahan sepeda yang dipastikan remnya blong. Sebatang kayu, seukuran stik pramuka, yang bercabang di salah satu ujungnya, dikaitkan pada besi boncengan sepeda. Ujungnya yang lain ditarik Mak Sansun dari belakang. Seperti permainan tarik tambang. Bedanya, kayu penahan tersebut ditarik sembari dibiarkan maju pelan, sedikit-demi sedikit. Sistem mengerem yang unik tentunya.
Dengan hati-hati mereka menuruni pendakian. Sampai setengah penurunan yang semakin curam, basah dan licin. Tiba-tiba saja Mak Sansun melepaskan kayu penahan. Tentu saja, sekonyong-konyong suaminya bersama sepeda melaju pesat, kemudian tersandar di sebatang pohon kayu. Suara suami Mak Sansun terdengar menggelegar memaki istrinya. Dengan wajah ketakutan Mak Sansun berkomentar singkat. “Aku sudah tidak tahan”.
Orang-orang yang tengah beristirahat sembari bercakap-cakap, serempak diam seribu bahasa. Kecuali beberapa lelaki berdiri membantu suami Mak Sansun. Meletakkan sepedanya seperti semula. Entah karena kesal dan malu, atau keduanya, suami istri itu tidak beristirhat seperti yang lainnya. Mereka berlalu begitu saja. Selang beberapa saat, orang-orang dewasa yang ada di situ tertawa terbahak-bahak. Aku sangat heran. Apanya yang lucu?
Tahun berlalu musim berganti. Aku pun sudah dewasa, berkeluarga dan dikarunia 3 orang anak. Cuma saja, kehidupan mereka sangat kontradiktif dengan masa kecilku dulu. Urusan sekolah misalnya. Jauh-jauh hari, bahkan sebelum tahun ajaran baru. Aku sudah melihat-lihat sekolah mana kiranya yang pas untuk mereka. Dengan mengumpulkan berbagai impormasi lewat brosur. Berbagai keunggulan ditawarkan.
Ada sekolah islam plus, sekolah full day school, Sekolah Bertahap Internasional, dan entah apa lagi. Kadang aku malas membacanya secara teliti. Kecuali di bagian kolom yang ada angka-angka tercetak rapi. Ya. Itulah angka rupiah yang bernilai jutaan, biaya sekolah yang harus dibayar. Sebuah angka yang fantastis, setidaknya menurut kemampuan keuangan keluargaku.
Belum soal perlengkapan. Jauh-jauh hari mereka sibuk mendesak saya untuk berbelanja berbagai perlengkapan sekolah. Tas bermerek, buku tulis dalam hitungan lusin, dan banyak perlengkapan lain yang cukup panjang untuk ditulis satu persatu. Apa boleh buat. Demi menyongsong masa depan yang kian kompetitif. Sebuah alasan tanpa penawaran.
Walau peristiwa Mak Sansun di Pendakian Talago sudah berlalu lebih dari 30 tahun. Aku tetap mengenangnya sebagai pelajaran hidup yang berharga, Kadang, waktu adalah ruang yang tepat untuk menjawab sebuah pertanyaan.
Dalam kehidupan berumahtangga, sebagian kecil wanita, para istri, pun para suami ada yang berlaku seperti Mak Sansun. Melepaskan tanggungjawab disaat-saat yang genting. Ketika beban kehidupan kian menghimpit, ekonomi semakin seret. Tega meninggalkan pasangan begitu saja. Lalu dengan enteng memberi alasan, “Aku sudah tidak tahan”. Padahal, di masa hidup jaya, rezeki berlimpah, mereka begitu saling setia. Bahkan, kekurangan pasangan masing-masing bisa dimaklumi.
Aku juga mengambil pekerti dari orang-orang yang tertawa terbahak-bahak. Ternyata, adakalanya, kejadian buruk yang menimpa seseorang menjadi bahan tertawaan bagi yang lainnya. Pelajaran hidup berharga, yang tak pernah diajarkan di sekolah termahal di dunia sekalipun. (Asmanidar)