SEHELAI SARUNG
Siang yang teduh. Suamiku datang untuk makan siang dan sholat zuhur. Tugasnya mengajar di salah satu Perguruan Tinggi dengan jadwal yang padat. Satu hari, full. Walau cuma dua atau tiga hari sepekan, telah membuatnya kadang sedikit lelah. Namun, membagi sedikit ilmu yang ada buat sesama, baginya merupakan sebuah misi.
Sembari mengucapkan salam di ambang pintu, ia mengulurkan sebuah bingkisan kepada ku. “Ada sarung dari fakultas, untuk mu saja”, ujarnya. Lalu, dengan ucapan terimakasih sekenanya, bingkisan itu sudah berada di tangan ku. Ku buka kotak sarung itu. Kain sarung maksudku. Tanpa sadar aku berucap: “Wah!” Warnanya bagus sekali. “Berarti ini untuk ku”.
Sadar akan ucapan ku sendiri, sejenak aku tertegun. Kalimat: “Berarti sarung ini untuk ku”, tentunya sebuah statement yang benar. Namun, sesungguhnya kuucapkan tanpa sadar. Ya, sarung ini memang untukku. Sebab, orang pertama yang sering kuhadiahi sarung, kini telah tiada.
Sepanjang kehidupan rumah tanggaku yang mendekati dua puluh tahun. Seingat ku, aku tak pernah membeli sehelai sarungpun. Walau begitu, aku memiliki banyak sarung. Sarung-sarung tersebut merupakan pemberian kerabat handai taulan. Kadang hadiah ulang tahunku atau suami. Paling sering, sebagai bingkisan lebaran seperti sarung warna hitam motif garis kuning putih yang ada di hadapanku, saat ini.
Warna kegemaranku. Jadi, tak ada yang salah dengan ucapan, “berarti sarung ini untuk ku”. Sebab, kalau warnanya kurang pas buatku. Atau menurutku, jika memang cocok untuk orang tua, biasanya akan kuhadiahi pada ibu mertua ku. Tetapi kini, cocok atau tidak untukku, agaknya akan tetap untukku. Kecuali bila aku ingin menghadiahkan buat yang lain. Pengabdianku buat kedua mertua, sepenuhnya telah berakhir.
Sekonyong. Ada rasa sedih yang mencekat di ujung tenggorokanku. Aku ingat, ibu mertua yang menderita penyakit osteophorosis serta asam urat yang membuatnya mengalami retak tulang pinggul. Setidaknya, itulah vonis dokter. Yang pasti, ibu tidak bisa berdiri apalagi berjalan sejak tiga tahun terakhir. Kami, sepuluh anak menantunya secara bergiliran merawatnya. Aku sendiri begitu banyak belajar dari pengalaman merawat ibu mertuaku ini. Terutama belajar tentang arti cinta. Ikhlas dan kesabaran.
Namun, bila ada orang yang paling bersalah atas kepergian ibu, tentulah aku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, ketika beberapa orang anaknya datang menjemput untuk kembali ke kampung halamannya dan menetap di sana. Walau sempat kubisikkan di telinganya bahwa aku dan suami akan menjemputnya kembali menjelang Ramadan ini. Aku memang datang padanya menjelang Ramadan, tetapi bukan untuk menjemputnya, melainkan tujuan utama untuk sebuah pekerjaan lain. Agaknya, pekerjaan mengejar karir menjadi alasan utama bagiku untuk menyerahkan perawatan ibu pada anak dan menantunya yang lain.
Padahal. Aku merasa ibu senang tinggal bersama ku. Aku rajin mendengar ceritanya tentang masa silam. Sampai aku hapal beberapa nama teman ibu sesama sekolah di Taman Siswa Batangtoru, sekitar tahun 40-an. Di antaranya Pak Sujud, Dokter Awal, Pak Zulkifli dan banyak lagi yang tak satupun ku kenal. Tentang ayahnya yang berambut keriting dan berkacamata, adalah bagian masa kecilnya yang bahagia. Aku juga rajin memberinya hadian. Ya, berupa sarung, buku bacaan, atau kaset dan VCD lagu-lagu El-Syuraya, lagu dangdut dari Megi Z dsb.
Jangan salah. Walau ibu sudah 74 tahun. Dia rajin belajar. Sering bertanya padaku tentang beberpa istilah modern kini. Misalnya, kata “nepotisme, waralaba, suku cadang”, dan istilah-istilah lain yang acap didengarnya di televise.
Aku percaya bahwa ajal sepenuhnya ada di tangan Allah. Dan, tugas para perawat, dokter sekalipun, bukan untuk menunda kematian. Melainkan menjadikan hidup lebih berkualitas, dengan cara memberi rasa nyaman dan bahagia bagi para pasiennya.
Aku beranjak dari lamunan dan berjalan ke kamar, menyimpan bingkisan sarung pada lipatan sarung-sarung lain yang sudah ada di lemari. Ku tutup pintu lemari dengan memutar kuncinya. Walau makam ibu sudah ditutup tumpukan tanah 40 hari tepatnya hari ini. Hati ku akan selalu terbuka untuknya. Aku mulai mengikuti kebiasaannya membaca Alqur’an setiap usai sholat. Senyumnya yang mengembang akan tetap hadir di pelupuk mataku. Selamanya!
Aku harus sadar, bahwa karir ku yang utama adalah merawat anak dan cucunya. Biarlah karir Advokat-ku mengalir perlahan. Biasa saja. Mungkin sudah demikian adanya. Toh, seperti pepatah: “Tak mungkin menangkap dua ekor kelinci sekaligus dalam sekali perburuan”. Dan mungkin sudah demikian kodratnya. Bahwa hidup ini ibarat bersembunyi di sehelai sarung. Ditarik keatas tampak kaki, ditarik ke bawah tampak kepala. (Asmanidar)
Seja o primeiro a comentar
Posting Komentar